blog ini berisi hasil bacaan, hasil browsing, hasil diskusi, tulisan-tulisan baik jurnal ataupun tulisan lepas lainnya semoga blog ini bisa menjadi referensi buat tmn2 yg membutuhkan pengetahuan.... karena jgn pernah membatasi diri untuk mencari ilmu... karena sebuah kebodohan jika ilmu di batasi...

Selasa, 13 November 2012

Teori Implementasi Kebijakan

1.    Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn
Menurut meter dan horn dalam AG. Subarsono (2010: 99), ada enam variable yang memengaruhi kinerja implementasi, yakni:
1.    Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus  jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standard an sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik antar agen implementasi
2.    Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia(human resources) maupun sumberdaya non-manusia(non-human resourse).
3.    Hubungan antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan intansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program
4.    Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.
5.    Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan.
6.    Disposisi implementor/ sikap para pelaksana. Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. disposisi implementasi kebijakan diawali  penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.
2.      Teori George Edward III 
Edward III dalam AG. Subarsono (2010: 90), mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi 
2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah : 
a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan 
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan 
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan. 
3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya 
4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi.
3.    Teori Mazmanian dan Sabatier
Mazmanian dan Sabatier dalam AG. Subarsono (2010: 94), implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable, yaitu : 
a. karakteristik masalah :
(1) tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan, disatu pihak ada masalah sosial yang secara teknis mudah dipecahkan.di pihak lain ada masalah yang sulit di pecahkan
(2)  tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran, ini berarti bahwa suatu program relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya adalah homogen. Sebaliknya jika kelompok sasaran adalah heterogen, maka implementasi program akan lebih sulit, karena tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran terhadap program relatif berbeda
(3) proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, sebuah program relative sulit di implementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi. Sebaliknya sebuah program akan relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar
(4) cakupan perubahan prilaku yang diharapkan, sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan labih mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah sifat dan prilaku masyarakat
b. Karakteristik kebijakan :
(1) kejelasan isi kebijakan, ini berarti bahwa makin jelas dan akin rinci kebijakan maka akan memudahkan implementor dalam memahami isi kebijakan dan menterjemahkan dalam tindakan nyata
(2) seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis
(3) besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut dalam hal ini mengenai sumber daya keuangan dan staf
(4) hubungan atau dukungan antar organisasi pelaksana, kegagalan program biasa disebabkan kurangnya koordinasi vertical dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam suatu program
(5) kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana
(6) tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan dalam hal melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program-program,
(7) seberapa luas akses kelompok-kelompok luar yaitu masyarakat untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. Karena kebijakan yang melibatkan masyarakat akan lebih mudah untuk berhasil  di banding yang tidak melibatkan masyarakat
c. Variabel Lingkungan:
(1) kondisi sosial ekonomi dan tingkat kemajuan teknologi, masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan lebih mudah menerima program-program pembaruan di banding masyarakat yang tertutup dan tradisional. Demikian juga kemajuan tekhnologi akan membantu dalam keberhasilan proses implementasi program, karena program-program tersebut dapat disosialisasikan dan di implementasikan dengan bantuan teknologi modern
(2)    dukungan public terhadap sebuah kebijakan, kebijakan yang bersifat insentif biasanya mudah mendapat dukungan public. Sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-insentif akan kurang mendapat dukungan publik
(3)    sikap dari kelompok pemilih
(4) tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor. Pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan ang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial
4.    Teori  Merilee S. Grindle
Menurut Grindle dalam AG. Subarsono (2012 : 93), implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. 
Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut : 
1. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan 
2. Jenis manfaat yang akan diterima oleh target groups 
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan 
5. Pelaksana program 
6. Sumber daya yang dikerahkan 
Sementara itu, konteks implementasinya adalah : 
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 
2. Karakteristik lembaga dan penguasa 
3. Kepatuhan dan daya tanggap
Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan
5.    Teori G Shabbir Cheema dan Denis A. Rondinelli
Dalam model ini ada empat kelompok variable yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni: (1) kondisi lingkungan, (2) hubungan antar organisasi, (3) sumberdaya organisasi untuk implementasi program, (4) karakteristik dan kemampuan agen pelaksana
6.    Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining
Dalam model ini ada tiga kelompok variable besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program yakni:
a.        logika kebijakan ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoritis. Kita dapat berfikir bahwa logika dari suatu kebijakan seperti halnya hubungan logis dari suatu hipotesis.
b.        Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan, lingkungan tempat dioperasikan ini sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Lingkungan ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam dan fisik atau geografis
c.        Kemampuan implementor. Keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan keterampilan oleh para implementor

Senin, 04 Juni 2012

BENTUK-BENTUK DAN TEORI PERENCANAAN KOTA DAN DESA


Perencanaan atau yang sudah akrab dengan istilah planning adalah satu dari fungsi management yang sangat penting. Bahkan kegiatan perencanaan ini selalu melekat pada kegiatan hidup kita sehari-hari, baik disadari maupun tidak. Sebuah rencana akan sangat mempengaruhi sukses dan tidaknya suatu pekerjaan. Karena itu pekerjaan yang baik adalah yang direncanakan dan sebaiknya kita melakukan pekerjaan sesuai dengan yang telah direncanakan.
Perencanaan merupakan proses yang berisi kegiatan-kegiatan berupa pemikiran, perhitungan, pemilihan, penentuan dsb. Yang semuanya itu dilakukan dalam rangka tercapainya tujuan tertentu. Pada hakekatnya perencanaan merupakan proses pengambilan keputusan atas sejumlah alternative (pilihan) mengenai sasaran dan cara-cara yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang guna mencapai tujuan yang dikehendaki serta pemantauan dan penilaiannya atas hasil pelaksanaannya, yang dilakukan secara sistematis dan dan berkesinambungan.
Dalam hal perencanaan wilayah, pentingnya perencanaan dikuatkan oleh berbagai factor, antara lain:
1.      Banyak di antara potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi diperbanyak atau diperbaharui.
2.      Kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia.
3.      Kesalahan perencanaan yang sudah dieksekusi di lapangan sering tidak dapat diubah atau diperbaiki kembali.
4.      Lahan dibutuhkan untuk menopang kehidupan nermasyarakat.
5.      Tatanan wilayah sekaligus menggambarkan kepribadian dari masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut.
6.      Potensi wilayah berupa pemberian alam maupun hasil karya manusia di masa lalu adalah asset yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.
Tujuan perencanaan wilayah adalah menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman serta lestari dan pada tahap akhirnya menghasilkan rencana yang menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang direncanakan.
Dalam perencanaan kota dan desa kita dapat melihat bagaimana bentuk-bentuk dari perencanaan itu sendiri. Ada yang melihat dari perbedaan isinya, sudut visi perencanaan,  perbedaan luas pandang bidang yang direncanakan, institusi yang dilibatkan dan wewenang dari masing-masing institusi yang terlibat, dan koordinasi antar lembaga. Oleh karena itu, kami selaku pemakalah akan lebih mengkaji bagaimana bentuk-bentuk dari perencanaan wilayah yakni kota dan desa.


A.    Bentuk-bentuk Perencanaan Kota dan Desa
1.      Perencanaan Fisik vs Perencanaan Ekonomi
Pada dasarnya pembedaan ini didasarkan atas isi atau materi dari perencanaan. Perencanaan Fisik adalah perencanaan untuk mengubah atau memanfaatkan struktur fisik suatu wilayah misalnya perencanaan tata ruang atau tata guna tanah, perencanaan jalur transportasi, penyediaan fasilitas umum, dan lain-lain.
Perencanaan Ekonomi berkenaan dengan perubahan struktur ekonomi suatu wilayah dan langkah-langkah untuk memperbaiki tingkat kemakmuran suatu wilayah.
Perencanaan ekonomi lebih didasarkan pada mekanisme pasar ketimbang perencanaan fisik yang lebih didasarkan atas kelayakan teknis. Perencanaan fisik berfungsi untuk mewujudkan berbagai sasaran yang ditetapkan dalam perencanaan ekonomi.
2.      Perencanaan Alokatif vs Perencenaan Inovatif
Pembedaan ini didasarkan atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut. Perencanaan alokatif berkenaan dengan menyukseskan rencana umum yang telah disusun pada level yang lebih tinggi atau telah menjadi kesepakatan bersama. Inti kegiatannya berupa koordinasi dan sinkronisasi agar system kerja untuk mencapai tujuan itu dapat berjalan secara efektif dan efisien sepanjang waktu.
Dalam Perencanaan inovatif, para perencana lebih memiliki kebebasan, baik dalam menetpakan target maupun cara yang ditempuh untuk mencapai target. Artinya mereka dapat menetapkan prosedur dalam mencapai target dengan menggunakan cara-cara yang baru.
3.      Perencanaan bertujuan jamak vs perencanaan bertujuan Tunggal
Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang yang tercakup yaitu antara yang bertujuan tunggal dan bertujuan jamak.
Perencanaan bertujuan jamak adalah perencanaan yang memiliki beberapa tujuan sekaligus. Misalnya rencana pelebaran jalan dan peningkatan kualitas jalan yang ditujukan memberikan berbagai manfaat sekaligus.
Perencanaan bertujuan tunggal apabila sasaran yang hendak dicapai adalah sesuatu yang yang dinyatakan dengan tegas dalam perencanaan itu dan bersifat tunggal.
4.      Perencanaan Bertujuan Jelas vs perencanaan bertujuan Laten
Pembedaan didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana tersebut. Perencanaan bertujuan jelas yaitu perencanaan yang dengan tegas menyebutkan tujuan dan sasaran dari perencanaan tersebut, yang sasarannya dapat diukur keberhasilannya.
Perencanaan bertujuan laten adalah perencanaan yang tidak menyebutkan sasaran dan bahkan tujuannya pun kurang jelas sehingga sulit untuk dijabarkan.
5.      Perencanaan Indikatif vs perencanaan imperative
Pembedaan ini didasarkan atas ketegasan dari isi perencanaan dan tingkat kewenangan dari institusi pelaksana.
Perencanaan indikatif adalah perencanaan di mana tujuan yang hendak dicapai hanya dinyatakan dalam bentuk indikasi, artinya tidak dipatok dengan tegas. Tidak diatur bagaimana mencapai tujuan tersebut ataupun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, yang penting indicator yang dicantumkan dapat tercapai.
Perencanaan imperative adalah perencanaan yang mengatur baik sasaran, prosedur, pelaksana, waktu pelaksanaan, bahan-bahan, serta alat-alat yang dapat dipakai untuk menjalankan rencana tersebut.
6.      Top Down vs Bottom Up Planning
Pembedaan perencanaan jenis ini didasarkan atas kewenangan dari institusiya g terlibat. Perencanaan model top-down dan bottom-up hanya berlaku apabila terdapat beberapa tingkat atau lapisan pemerintahan yang masing-masing diberi wewenang untuk melakukan perencanaan.
Perencanaan model top-down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencana pada level yang lebih rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi yang lebih tinggi. Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus dijadikan bagian rencana dari institusi yang lebih rendah.
Perencanaan model Bottom-up adalah apabila kewenangan utama pada perencanaan itu berada pada institusi yang lebih rendah, di mana institusi prerencana pada level yang lebih tinggi harus menerima usulan-usulan yang diajukan oleh institusi perncana pada tingkat yang lebih rendah.
7.      Vertical vs Horizontal Planning
Pembedaan bentuk ini juga didasarkan atas perbedaan kewenangan antarinstitusi walaupun lebih ditekankan pada perbedaan jalur koordinasi yang diutamakan perencana.
Vertical planning adalah perencanaan yang lebih mengutamakan koordinasi antarberbagai jenjang pada sector yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi menekankan pentingnya koordinasi antarberbagai jenjang pada instansi yang sama.
Horizontal planning menekankan keterkaitan antarberbagai sector sehingga berbagai sector itu dapat berkembang secara bersinergi. Lebih melihat pentingnya koordinasi antarberbagai instansi pada level yang sama.
8.      Perencanaan yang Melibatkan Masyarakat secara langsung vs yang tidak melibatkan masyarakat secara langsung
Pembedaan juga didasarkan atas kewenangan yang diberikan kepada institusi perencana yang seringkali terkait dengan luas bidang yang direncanakan.
Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung adalah apabila sejak awal masyarakat telah diberitahu dan diajak ikut serta dalam menyusun rencana tersebut.
Perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat adalah apabila masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dan paling-paling hanya dimintakan persetujuan dari DPRD untuk persetujuan akhir.
B.     Teori Perencanaan
Menurut Hudson dalam Tanner (1981) teori perencanaan meliputi, antara lain; sinoptik, inkremental, transaktif, advokasi, dan radial. Selanjutnya di kembangkan oleh tanner (1981) dengan nama teori SITAR sebagai penggabungan dari taksonomi Hudson.
1. Teori Sinoptik
Disebut juga system planning, rational system approach, rasional comprehensive planning. Menggunakan model berfikir system dalam perencanaan, sehingga objek perencanaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat, dengan satu tujuan yang disbebut visi. Langkah-langkah dalam perencanaan ini meliputi:  pengenalan masalah, mengestimasi ruang lingkup problem, mengklasifikasi kemungkinan penyelesaian, menginvestigasi problem, memprediksi alternative, mengevaluasi kemajuan atas penyelesaian spesifik.
2. Teori incemental
Didasarkan pada kemampuan institusi dan kinerja personalnya. Bersifat desentralisasi dan tidak cocok untuk jangka panjang. Jadi perencanaan ini menekankan perencanaan dalam jangka pendek saja. Yang dimaksud dengan desentralisasi pada teori ini adalah si perencana dalam merencanakan objek tertentu selalu mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan. 
3. Teori transactive
Menekankan pada harkat individu yang menjunjung tinggi kepentingan pribadi dan bersifat desentralisasi, suatu desentralisasi yang transactive yaitu berkembang dari individu ke individu secara keseluruhan. Ini berarti penganutnya juga menekankan pengembangan individu dalam kemampuan mengadakan perencanaan.
4. Teori advocacy
Menekankan hal-hal yang bersifat umum, perbedaan individu dan daerah diabaikan. Dasar perencanaan tidak bertitik tolak dari  pengamatan secara empiris, tetapi atas dasar argumentasi yang rasional, logis dan bernilai (advocacy= mempertahankan dengan argumentasi).
Kebaikan teori ini adalah untuk kepentingan umum secara nasional. Karena ia meningkatkan kerja sama secara nasional, toleransi, kemanusiaan, perlindungan terhadap minoritas, menekankan hak sama, dan meningkatkan kesejahteraan umum. Perencanaan yang memakai teori ini tepat dilaksanakan oleh pemerintah/ atau badan pusat.
5. Teori radikal
Teori ini menekankan pentingnya kebebasan lembaga atau organisasi lokal untuk melakukan perencanaan sendiri, dengan maksud agar dapat dengan cepat mengubah keadaan lembaga supaya tepat dengan kebutuhan.
Perencanaan ini bersifat desentralisasi dengan partisipasi maksimum dari individu dan minimum dari pemerintah pusat / manajer tertinggilah yang dapat dipandang perencanaan yang benar. Partisipasi disini juga mengacu kepada pentingnya kerja sama antar personalia. Dengan kata lain teori radikal menginginkan agar lembaga pendidikan dapat mandiri menangani lembaganya. Begitu pula pendidikan daerah dapat mandiri menangani pendidikannya. 
6. Teori SITAR
Merupakan gabungan kelima teori diatas sehingga disebut juga complementary planning process. Teori ini menggabungkan kelebihan dari teori diatas sehingga lebih lengkap. Karena teori ini memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat atau lembaga tempat perencanaan itu akan diaplikasikan, maka teori ini menjadi SITARS yaitu S terakhir adalah menunjuk huruf awal dari teori situational. Berarti teori baru ini di samping mengombinasikan teori-teori yang sudah ada penggabungan itu sendiri ada dasarnya ialah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan dan masyarakat. Jadi dapat kita simpulkan bahwa teori-teori diatas mempunyai persamaan dan pebedaannya.
Persamaannya:
1.      Mempunyai tujuan yang sama yaitu pemecahan masalah
2.      Mempunyai obyek perencanaan yang sama yaitu manusia dan lingkungan sekitarnya.
3.      Mempunyai beberapa persyaratan data, keahlian, metode, dan mempunyai konsistensi internal walaupun dalam penggunaannya terdapat perbedaan penitikberatan.
4.      Mempertimbangkan dan menggunakan sumberdaya yang ada dalam pencapaian tujuan
Sedangkan Perbedaannya adalah :
1.        Perencanaan sinoptik lebih mempunyai pendekatan komprehensif dalam pemecahan masalah dibandingkan perencanaan yang lain, dengan lebih mengedepankan aspek-aspek metodologi, data dan sangat memuja angka atau dapat dikatakan komprehensif rasional. Hal ini yang sangat minim digunakan dalam 4 pendekatan perencanaan yang lain.
2.        Perencanaan incremental lebih mempertimbangkan peran lembaga pemerintah dan sangat bertentangan dengan perencanaan advokasi yang cenderung anti kemapanan dan perencanaan radikal yang juga cenderung revolusioner.
3.        Perencanaan transactive mengedepankan faktor – faktor perseorangan / individu melalui proses tatap muka dalam salah satu metode yang digunakan, perencanaan ini kurang komprehensif dan sangat parsial dan kurang sejalan dengan perencanaan Sinoptik dan Incremental yang lebih komprehensif.
4.        Perencanaan advocacy cenderung menggunakan pendekatan hukum dan obyek yang mereka ambil dalam perencanaan adalah golongan yang lemah. Perencanaan ini bersifat sosialis dengan lebih mengedepankan konsep kesamaan dan hal keadilan social.
5.        Perencanaan Radikal seakan-akan tanpa metode dalam memecahkan masalah dan muncul dengan tiba-tiba (spontan) dan hal ini sangat kontradiktif dengan pendekatan incremental dan sinoptik yang memepertimbangkan aturan – aturan yang ada baik akademis/metodologis dan lembaga pemerintahan yang ada.