blog ini berisi hasil bacaan, hasil browsing, hasil diskusi, tulisan-tulisan baik jurnal ataupun tulisan lepas lainnya semoga blog ini bisa menjadi referensi buat tmn2 yg membutuhkan pengetahuan.... karena jgn pernah membatasi diri untuk mencari ilmu... karena sebuah kebodohan jika ilmu di batasi...

Sabtu, 28 April 2012

Patologi birokrasi sebagai salah satu contoh pelanggaran Etika pemerintahan


A.   Pengertian Patologi birokrasi
Masalah dalam etika pemerintahan adalah patologi birokrasi.
Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera. Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, soio-kultural dan teknologikal. Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab, Pengaburan masalah, Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme,  Indikasi mempertahankan status quo,  Empire bulding (membina kerajaan), Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, Ketidakpedulian pada kritik dan saran, Takut mengambil keputusan, Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi, Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif, Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
Patologi birokrasi merupakan cerminan dari aparat pemerintah yang kurang memahami etika pemerintahan, Berbagai perkiraan mengenai masa depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan petunjuk bahwa tantangan yang akan dihadapi oleh Birokrasi Pemerintah di masa depan akan semakin besar, baik dalam bentuk dan jenisnya, maupun intensitasnya.
Mengenai penanganan patologi birokrasi dan terapinya, berarti agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal. Berbagai penyimpangan yang dilakukan para birokrat perlu diidentifikasikan untuk dicari terapi yang paling efektif, sehingga patologi birokrasi dapat dikategorikan dalam kelompok-kelompok tertentu. 

B. Jenis-jenis Patologi Birokrasi
Pemerintahan sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan pada kompleksitas global, sehingga perannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan. Sementara itu, kondisi objektif dari iklim kerja aparatur selama ini masih dipengaruhi oleh teori atau model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Weber, Gullick, dan Urwick, yaitu (i) struktur, (ii) hierarki, (iii) otoritas, (iv) dikotomi kebijakan administrasi rantai pemerintah, dan (v) sentralisasi. Meskipun model tersebut memaksimumkan nilai efisiensi dan efektifitas ekonomi, namun pada kenyataannya teori tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara faktual sesuai dengan banyak temuan penelitian di berbagai tempat.
Teori birokrasi tersebut telah menimbulkan berbagai implikasi negatif yang sangat  terkait dengan gejala sebagai berikut:
  1. Smith, menyebutkan Inmobilism-inability to function, adalah kenyataan yang terkait dengan adanya hambatan dan ketidakmampuan menjalankan fungsi secara efektif.
  2. E. bardock, mengemukakan gejala kelemahan adalah tekonisme, yaitu kecenderungan sikap administrator yang menyatakan mendukung suatu kebijaksanaan dari atas secara terbuka tetapi sebenarnya hanya melakukan sedikit sekali partisipasi dalam pelaksanaannya. Partisipasi yang sangat kecil tersebut dapat pula berbentuk procrastination, yaitu bentuk partisipasi dengan penurunan mutu atau kualitas pelayanan.
  3. kelemahan lain adalah koordinasi yang dapat menimbulkan kelebihan (surpluses) maupun kekurangan (shortages)
  4. Kelemahan lain adalah kebocoran dalam kewenangan (linkage of authority), yaitu kebijaksanaan pimpinan ditafsirkan dan diteruskan oleh pembantu pimpinan secara berlainan dalam arus perintah pada bawahan sesuai dengan pertimbangannya sendiri.
  5. Selain itu terdapat juga gejala resistance,baik secara terang-terangan maupun tersembunyi oleh aparat dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan
Birokrasi harus dihindarkan dari rancangan pihak-pihak yang tidak menghiraukan kepentingan publik untuk menjadikannya sebagai power center karena dapat mengancam potensi masyarakat.
Dalam hal patologi demokrasi dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu :
  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi, contohnya :
    1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan
    2. Pengaburan masalah
    3. Menerima sogok atau suap
    4. Pertentangan kepentingan
    5. kecenderungan mempertahankan status quo / ketakutan pada perubahan
    6. Arogansi dan intimidasi
    7. Kredibilitas relatif rendah / nepotisme
    8. Paranoia dan otoriter astigmatisme
    9. Patologi yang disebabkan karna kurang / rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Artinya, rendahnya produktivitas kerja dan mutu pelayanan tidak semata-mata disebabkan oleh tindakan dan perilakuyang disfungsional, tetapi juga karena tingkat pengetahuan dan keteramplan yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas yang diemban.
    10. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang digolongkan dalam melanggar tindakan hukum, antara lain :
  1. Menerima sogok / suap
  2. Korupsi, dan
  3. Tata buku yang tidak benar
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional / negative, yaitu bertindak sewenang-wenang dan melalaikan tugas.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.
Pemahaman patologi birokrasi secara tepat memerlukan analisis mendalam mengenai konfigurasi birokrasi tersebut yang akan terlihat dalam berbagai situasi internal yang dapat berakibat negatif terhadap birokrasi yang bersangkutan, antara lain :
  1. penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat
  2. eksploitasi
  3. tidak tanggap
  4. motivasi yang tidak tepat
  5. kekuasaan kepemimpinan
  6. beban kerja yang terlalu berat
  7. perubahan sikap yang mendadak.
C. Upaya Penanggulangan Patologi Demokrasi
1 Paradigma Birokrasi yang Ideal.
  1. Kelembagaan
Birokrasi pemerintahan merupakan organisasi yang paling besar di setiap negara yang ditentukan oleh berbagai faktor, seperti komplekksitas fungsi yang harus diselenggarakan, besarnya tenaga kerja yang digunakan, besarnya anggaran yang dikelola, beraneka ragamnya sarana dan prasarana yang dikasai serta dimanfaatkan, serta luasnya wilayah kerja yang meliputi seluruh wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan, sehingga birokrasi pemerintahan perlu selalu berusahaagar seluruh organisasi birokrasi itu dikelola berdasarkan prinsip-prinsip organisasi.
2.      Manajemen Sumber Daya Manusia
Adapun langkah-langkah yang dapat diambil, terdiri dari perencanaan, rekruitmen, seleksi, penembapatan sementara, penempatan tetap, penentuan sistem imbalan, perencanaan dan pembinaan karier, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pemutusan hubungan kerja, pensiunan, dan audit kepegawaian.
3.      Pengembangan Sistem Kerja
Pengembangan sistem kerja harus diarahkan pada hilangnya persepsi negatif mengenai birokrasi. Pengembangan sistem kerja harus didsarkanpada pendekatan kesisteman yang berarti bahwa struktur apapun yang digunakan, semuanya harus tetapterwujud dalam kesatuan gerak dan langkah. Artinya, seluruh birokrasi bergerak sebagai satu kesatuan yang dapat diwujudkan apabila pengembangan sistem kerja birokrasi dapat ditujukan pada seluruh langkah yang ditempuh dalam proses administrasi negara.
4.      Pengembangan citra birokrasi yang positif.
Citra birokrasi umumnya bersifat negatif, sehingga nilai-nilai loyalitas, kejujuran, semangat pengabdian, disiplin kerja, mendahulukan kepentingan bangsa diatas kepentingan sendiri, tidak memperhitungkan untung rugi dalam pelaksanaan tugas, kesediaan berkorban, dan dedikasi, harus selalu ditekankan untuk dijunjung tinggi.
Beberapa cara yang dapat menghilangkan citra negatif, yaitu :
  1. Mendorong proses demokrasi dalam masyarakat, antara lain dalam bentuk peningkatan pengawasan sosial agar penyimpangan oleh para anggota birokrasi semakin berkurang.
  2. Mengurangi campur tangan birokrasi dalam berbagai kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang semakin maju, merupakan porsi masyarakat untuk menyelenggarakannya.
  3. Menggunakan setiap kesempatan untuk menumbuhkan persepsi mengenai pentingnya orientasi pelayanan, bukan orientasi kekuasaan, dalam berpikir dan bertindak.
  4. Mengharuskan para pejabat tinggi membuat pernyataan mengenai kekayaan pada waktu mulai menjabat.
2. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih, Kuat, dan Berwibawa
Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, seyogyanya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara (1) kepemimpinan yang adil dan kuat (2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik (3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi. Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat. Selama kedudukan dominan berada di tangan birokrat, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi atau penyalahgunaan wewenang untuk setiap urusan / keperluan. Birokrasi pemerintahan yang semakin kuat dan menentukan cenderung melakukan penyalahgunaan jabatan, wewenang, dan kekuasaan. Selama kekuasaan legislatif dan judikatif berada dibawah penguasa sebab peran kepela eksekutif sangat mempengaruhi kedudukan, jabatan, dan posisi di kedua lembaga tersebut. Lembaga legislatif tidak dapat melakukan fungsi pengawasan secara efektif karena eksekutif lebih kuat daripada legislatif sedangkan lembaga judikatif tidak kuat dan tidak independen karena adanya campur tangan dari kepala eksekutif. Dengan demikian, pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi terabaikan sebab lemahnya fungsi kontrol legislatif. Berdasarkan hal tersebut, sistem ketatanegaraan yang perlu direformasi adalah mencakup bidang politik, ekonomi, dan hukum pada tataran sistem, serta reformasi bidang moral intelektual dan sosial budaya pada tataran karakter. Di bidang politik, perubahan itu berkenaan dengan penyempurnaan undang-undang pemilihan umum partai politik, susunan dan kedudukan anggota DPR, MPR,dan DPRD, serta kebebasan mengeluarkan pendapat. Di bidang ekonomi, diperlukan undang-undang anti monopoli, perlindungan konsumen, serta perbaikan terhadap undang-undang ketenagakerjaan. Bidang hukum, diperlukan undang-undang tentang HAM dan bela negara. Sedangkan dalam tatanan karakter, perlu dibuat undang-undang etika pemerintahan dan menegakkan law enforcement . Selain itu, peran birokrasi juga harus dikembangkan kepada prinsip pelayanan yang cepat dan tepat, efisien, dan efektif. Pemerintah juga dituntut untut untuk memprioritaskan pembenahan sistem yang menyangkut kelembagaan dan sistem pendukung lainnya. Fungsi birokrasi termasuk aparatur negara hendaknya bisa sebagai penyelesai masalah (a world of solution) I serta menghindarkan diri dari sumber masalah (source of problem).
Istilah yang dikaitkan dengan birokrasi pemerintah yang bersih, kuat, dan berwibawa, terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan pembangunan, adalah efisien, yaitu mengedepankan kemampuan tinggi dalam mengoptimalkan pemanfaatan segala sumber dana yang tersedia, efektif, yaitu mengacu pada pencapaian sasaran yang telah ditentukan dengan perhitungan waktu yang tepat, bersih, yaitu sikap tingkah laku aparat yang dapat dipertanggungjawabkan,kuat, yaitu pemerintah yang memperoleh dukungan serta berakar pada rakyat, dan berwibawa, yaitu cekatan melaksanakan tugas melayani kepentingan umum.
Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan pemerintahan yang bersih, kuat, dan berwibawa adalah menyangkut cara atau hal urusan pemerintah menyelenggarakan sistem pemerintahan menurut konstitusi, hukum, dan etika; kelembagaannya tertata secara efisien dan saling mengawasi; mampu memberdayakan partisipasi masyarakat dan profesionalisme yang dijalankan melalui kepemimpinan demokratis yang berkapasitas tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar