blog ini berisi hasil bacaan, hasil browsing, hasil diskusi, tulisan-tulisan baik jurnal ataupun tulisan lepas lainnya semoga blog ini bisa menjadi referensi buat tmn2 yg membutuhkan pengetahuan.... karena jgn pernah membatasi diri untuk mencari ilmu... karena sebuah kebodohan jika ilmu di batasi...

Sabtu, 05 Januari 2013

Indonesia Butuh Pemimpin Bernyali


Pada tanggal 21 desember 2012 yang lalu kampus Universitas Hasanuddin kedatangan sebuah acara dari salah satu stasiun televisi swasta di indonesia yaitu acara Mata Najwa On Kampus yang diadakan di Baruga Andi Pangeran Pettarani, Kampus Unhas, Makassar. Acara ini disambut sangat antusias oleh insan akademik di “kampus Merah” tersebut, sekitar 3 ribu tiket ludes terjual.
Tetapi bukan jalannya acara itu yang akan saya ceritakan tetapi berhubungan dengan tema kegiatan yang diangkat dalam kegiatan tersebut yaitu “pemimpin bernyali” yang pada saat itu mendatangkan narasumber – narasumber yang dianggap bernyali dan selama ini sering mengadakan gebrakan yang sensasional yaitu: Jusuf Kalla (mantan wapres), Mahfud MD (ketua MK), Dahlan Iskan (Mentri BUMN), dan Abraham Samad (ketua KPK). Dari keempat nama yang disebutkan tadi, tiga nama awal yaitu Jusuf Kalla, Mahfud MD dan Dahlan Iskan adalah tiga nama yang diunggulkan dan merupakan 3 nama teratas untuk menjadi presiden versi LSI dan beberapa Lembaga survey lain.
Pada saat sesi pertanyaan saya ingin menanyakan sebuah pertanyaan apakah ketiga pemimpin diatas jika menjadi presiden berani untuk menasionalisasi perusahaan asing yang ada diindonesia, yang mengeruk, merampok sumber kekayaan alam di Negara kita indonesia Karena menurut saya pemimpin bernyali adalah pemimpin yang berani mengakuisisi perusahaan asing di Negara kita, agar kekayaan alam kita bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran Negara kita bukan negara lain, karena selama ini Negara kita, khususnya pemimpin kita sangat takut mengnasionalisasi perusahaan asing karena terlalu takut mengambil resiko di jauhi atau dikucilkan oleh Negara- Negara lain. Berikut adalah Negara-negara dengan pemimpin pemberani yang telah mengambil kembali perusahaan asing di Negara mereka menjadi milik Negara mereka sendiri.

Inilah daftar negara yang menasionalisasi perusahaan minyak asing
Iran menasionalisasi perusahaan minyaknya lewat tekanan ulama dan rakyatnya. Arab Saudi menasionalisasi perusahaan minyak AS Aramco di tahun 1974 lewat Raja Faisal. Raja Faisal berhasil mengubah negara Arab Saudi yang di tahun 1970-an miskin, menjadi negara yang sangat makmur sekarang ini. Karena sejak dinasionalisasi, pendapatan minyak meningkat drastis sehingga bisa mendanai pembangunan secara masif.
Presiden Bolivia, Evo Morales berani menasionalisasi industri minyak dan gas. Ini merupakan contoh ekstrem dari wujud nasionalisme pimpinan tertinggi di negara itu.
Hugo Chavez berhasil menasionalisasi perusahaan migas di Venezuela. Meski Exxon menuntut venezuela US$ 12 Milyar atas asetnya, namun Lembaga Arbitrase Internasional memutuskan hanya US$ 907 juta yang harus dibayar venezuela. Dengan produksi minyak Venezuela sekitar 3 juta bph, dengan harga minyak US$ 100/brl, maka aset Exxon yang harus diganti venezuela itu sudah bisa dibayar lunas dengan produksi minyak 10 hari saja.
Kuba dengan pemimpinnya fidel castro berani mengusir perusahaan asing milik amerika keluar dari kuba, sehingga amerika memutus hubungan diplomatic dengan kuba dan meng embargo ekonomi kuba
langkah yang paling anyar ditempuh oleh Negara Argentina. Negara ini pada April 2012 membuat berita besar karena Presiden Argentina Cristina Fernández de Kirchner mengatakan perusahaan minyak besar, Yacimientos Petrolíferos Fiscales (YPF), milik Repsol dari Spanyol akan diambil alih oleh negara. Hal ini dilakukan untuk mengamankan hasil migas negara itu agar dapat berkontribusi lebih banyak bagi kepentingan nasional.
Ada pun Norwegia, meski merupakan negara Liberal, tetap mengelola migas mereka melalui BUMN mereka sehingga 100% hasil migas dinikmati rakyat mereka. Bukan oleh segelintir pengusaha asing/swasta. Tak heran meski baru menemukan minyak di tahun 1970-an, mereka jauh lebih makmur ketimbang Indonesia yang sudah 100 tahun minyaknya dikeruk. Ini karena Norwegia mengeruk minyaknya sendiri. Sedang Indonesia, yang mengeruk 90% migas kita adalah perusahaan2 asing seperti Chevron, Exxon Mobil, Conoco, dsb.
Dalam ayat 3 Bab XIV Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, jelas dinyatakan bahwa segala hal seperti, air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai oleh Negara untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Dari situ kita tahu bahwa seharusnya kekayaan alam Indonesia seperti minyak, gas, emas, perak, tembaga, batubara, dsb dikelola oleh negara melalui BUMN sehingga bisa dinikmati oleh rakyat banyak. Bukan justru dinikmati oleh perusahaan2 asing dan segelintir kompradornya.
Tentu saja Nasionalisasi akan membawa resiko. Raja Faisal setelah menasionalisasi perusahaan AS Aramco di tahun 1974, tahun 1975 ditembak mati oleh keponakannya sendiri. Sementara Hugo Chavez dan Evo Morales jadi musuh Amerika Serikat. Berulangkali Hugo Chavez mengalami percobaan pembunuhan. Ada pun Iran, mengalami berbagai embargo dari pembekuan aset, embargo minyak, bahkan ancaman perang terbuka oleh AS dan sekutunya. Ayatullah Kashani yang memimpin rakyat untuk menasionalisasi perusahaan minyak asing diasingkan ke Lebanon. Iraq bahkan diserang dan dibunuh presidennya (Saddam Hussein). Jadi Nasionalisasi penuh resiko yang berat. Namun pejuang kita dulu punya semboyan “Merdeka atau Mati!”. Dari pada hidup hina terjajah, lebih baik merdeka atau mati.
indonesia membutuhkan pemimpin pemberani seperti mereka, jangan takut karena Negara kita kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas agar Negara kita bisa lebih sejahtera dan tidak ada lagi konflik-konflik akibat ketidakpuasan suatu daerah terhadap pengelolaan sumber daya alam yang tidak dirasakan oleh daerah dan masyarakat di daerah itu. kita butuh pemimpin yang rela berkorban bukan pemimpin yang mengorbankan rakyat dan bangsanya sendiri