blog ini berisi hasil bacaan, hasil browsing, hasil diskusi, tulisan-tulisan baik jurnal ataupun tulisan lepas lainnya semoga blog ini bisa menjadi referensi buat tmn2 yg membutuhkan pengetahuan.... karena jgn pernah membatasi diri untuk mencari ilmu... karena sebuah kebodohan jika ilmu di batasi...

Senin, 31 Maret 2014

koalisi dalam sistem pemerintahan indonesia



Menelisik Peran Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia
 Koalisi, dalam perspektif politik pemerintahan adalah aliansi partai-partai yang dibangun atas dasar kepentingan bersama, baik untuk kepentingan partai-partai yang memerintah maupun sebaliknya, partai-partai yang menjadi oposisi. Koalisi pada umumnya terbangun dalam pemerintahan yang menganut sistem parlementer karena fungsi utamanya adalah untuk saling mendukung dalam pengambilan keputusan yang terjadi di parlemen. Meskipun demikian, koalisi bisa juga terbangun dalam pemerintahan presidensiil seperti di Indonesia yang dalam praktiknya lebih menyerupai sistem parlementer.
Dalam ilmu politik, secara garis besar koalisi dikelompokkan atas dua: pertama policy belind coalition, yaitu koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan , tetapi untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking). kedua, policy based coalition, yaitu koalisi berdasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasi.
Dalam konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi tersebut. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Memang ada sisi positif dalam koalisi yang selama ini dibentuk, yakni runtuhnya “sekat-sekat ideologis”. Dalam konteks itu sering kali parpol pendukung koalisi dengan tanpa merasa bertanggung jawab sebagai bagian dari koalsi tidak merasa bersalah menentang kebijakan pemerintah itu. itu realistas terjadi. Memang dalam koalisi manapun, bagi-bagi kekuasaan tidak bisa dihindari. Namun, dengan fokus pada platform, pengejaran kekuasaan akan digiring kearah yang menguntungkan rakyat. Sudah saatnya partai-partai duduk bersama membicarakan program-program membangun bangsa ini kedepan agar lebih baik dari sekarang.
Konsekuensi logis dari pilihan mempertahankan praktik koalisi dalam sistem presidensial di Indonesia adalah dengan melakukan perbaikan-perbaikan dalam praktik koalisi tersebut. Pada akhirnya, perbaikan tersebut akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, pembentukan koalisi dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal untuk menghindari terjadinya inkoherensi paradigma bernegara, inkoherensi sistem politik dan pemerintahan, dan inkoherensi tingkah laku kekuasaan berdemokrasi antar partai koalisi.Tahapan negosiasi formal ini merupakan landasan penting untuk menetapkan komitmen dan konsistensi partai politik dalam rangka menjaga keberlangsungan koalisi. Dalam tahapan ini, partai politik yang akan membentuk koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung. Untuk menentukan calon tersebut, dapat didasarkan pada hasil pemilu legislatif dan/atau popularitas calon. Dengan demikian, partai politik anggota koalisi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.  
Kedua, pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat. Pembentukan platform ini didasari oleh kesamaan ideologi partai politik bersangkutan. Artinya, partai-partai yang mempunyai kesamaan ideologi saja yang dapat menjadi mitra koalisi. Selain itu, platform yang telah disepakati tersebut harus dideklarasikan kepada rakyat secara layak sehingga rakyat turut mengawal jalannya koalisi. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat, koalisi tersebut harus menyampaikan pencapaian-pencapainnya selama masa pemerintahan. 
 Ketiga, pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia.  Etika politik tersebut terefleksi dalam perilaku para pelaku politik. Oleh karena itu, diperlukan usaha sungguh-sungguh dari para pelaku politik untuk tidak terjebak dalam pragmatisme yang hanya berorientasi pada kepentingan sesaat dengan meninggalkan nilai-nilai dasar demokrasi dan kemanusiaan, serta tidak melemahkan sistem presidensial yang dilembagakan secara hukum melalui lembaga-lembaga kenegaraan.

Jumat, 28 Maret 2014

Realitas PNS Saat Ini (Antara Kepentingan Penguasa dan Etika Profesi)



KEGALAUAN PNS DI PESTA DEMOKRASI
Menjelang pesta demokrasi (Pemilu legislatif dan Pemilihan presiden 2014) yang tinggal menghitung hari, fenomena survei di negeri ini semakin “menjamur” di Republik ini. Dengan data empiris yang terbatas dan metode survei yang masih bisa dipertanyakan, orang atau lembaga tertentu dengan mudahnya mengeluarkan pernyataan yang cenderung menggeneralisasi persoalan. Survei mengenai netralitas PNS pun sering kali melahirkan kesimpulan bahwa masyarakat masih ragu apakah PNS bisa bersikap netral tapi apakah itu sudah merupakan data yang valid dan dapat dipercaya karena masalah itu tadi, banyak lembaga survei yang mengeneralisasi persoalan, dan banyak juga diantara responden mereka yang belum atau tidak mengerti dengan persoalan itu.
Terlepas dari valid tidaknya data itu, paling tidak hal ini menunjukkan adanya keraguan dari masyarakat terhadap netralitas PNS di pemilu, padahal sejak era reformasi bergulir sudah banyak produk hukum yang mengatur netralitas PNS dan mejaga agar PNS tetap professional. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30/V.31-3/99 tanggal 12 Maret 2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS merupakan contoh produk hukum yang menuntut reformasi dalam tubuh birokrasi kita untuk bersikap netral dalam politik.
Keraguan masyarakat terhadap netralitas PNS antara lain disebabkan sistem pemerintahan kita yangb berjalan agak “rumit”, apalagi jika dilihat dari struktur pemerintah Negara ini yang menempatkan PNS sebagai pelaksana birokrasi di Indonesia. Persoalan menjadi amat rumit dan krusial ketika posisi pemimpin dijabat oleh tokoh yang berasal dari parpol dalam hal seperti ini posisi PNS sangat rentan digoyang oleh tangan-tangan kekuasaan yang menyimpan kepentingan-kepentingan tertentu.
Masalah netralitas PNS bisa terjadi dimana saja baik di daerah maupun di instansi pusat yang pemimpinnya merupakan orang parpol. Masalah pemberian jabatan struktural tertentu merupakan salah satu hal yang menyebabkan terjadi benturan antara netralitas PNS dengan kepentingan-kepentingan didalamnya. Persoalan dinamika promosi, demosi dan mutasi yang terjadi membuat PNS berada dalam posisi yang dilematis. Sebagai contoh ada seorang bupati di daerah X yang secara kebetulan anak dan istrinya menjadi calon anggota DPRD kabupaten dan provinsi, disini timbul isu di masyarakat bahwa ada upaya penggalangan massa PNS oleh sang bupati untuk memilih istri dan anaknya itu, bahkan PNS diancam akan dimutasi ataupun di berikan demosi jika tidak memilih anak dan istri dari si bupati tadi. Mungkin hal ini sudah menjadi rahasia umum di masyarakat bagaimana seorang pemimpin yang berasal dari parpol menggunakan kekuasaan mereka untuk menggerakkan para PNS untuk mengikuti kepentingan mereka. Para PNS akhirnya merasa “ketakutan” akan di demosi atau mutasi dan ada juga PNS yang menjadi seorang “penjilat” yang selalu ingin mendapat promosi jabatan sehingga meraka rela melakukan segala hal termasuk menjual profesionalitas mereka sebagai seorang birokrat yang mempunyai tugas utama melayani masyarakat
Kita perlu mengkritisi pandangan orang awam yang kurang pas terhadap posisi netral PNS yang cenderung ditafsirkan sebagai komunitas yang harus steril dan teralineasi dari kehidupan politik . padahal realitas politik PNS mempunyai hak pilih dalam pemilu. Karena itu posisi netral PNS sebenarnya adalah upaya mengambil jarak yang sama terhadap semua parpol yang ada di masyarakat. Sebagai pelayan masyarakat, mereka harus dihindarkan dari upaya pengotak-ngotakan dalam politik praktis. Semua ini ditujukan agar dalam mengemban tugas sehari-hari tidak lagi ada benturan antara kepentingan penguasa dan netralitas PNS di daerah.Birokrasi pemerintah dibentuk untuk mengemban tiga fungsi utama yaitu pelayanan publik, pelaksanaan pembangunan dan perlindungan masyarakat. Sebagi unsur aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat seorang PNS yang duduk dalam birokrasi pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus menjalankan tugasnya itu secara netral dan tidak diskriminatif.
Kondisi seperti itu hanya dapat terwujud jika dipundak mereka tidak terbebani tugas-tugas lain selain melayani kepentingan publik. Jika hal itu dapat terpenuhi maka netralitas PNS serta cita-cita membentuk pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai dengan keterbukaan, akuntabilitas dan supremasi hukum dapat bukan hanya slogan yang menggantung di langit. Seyogyanya butuh sebuah tindakan nyata agar PNS itu bisa bersikap netral dari segala macam kepentingan dari para penguasa terutama dari sisi jabatan dalam birokrasi, disini ada solusi yang kami anggap cukup bagus walaupun harus melalui beberapa pertimbangan dan analisa dampak yang mendalam yaitu untuk Pemerintah Daerah Pertama, sebaiknya masalah pergeseran posisi dalam birokrasi baik itu promosi, mutasi dan demosi menjadi hak sepenuhnya Sekretaris Daerah kabupaten\provinsi (SekDa/prov) dengan anggapan bahwa jabatan tertinggi dari PNS di daerah yaitu SekDa, selain itu dengan menggunakan logika sederhana bahwa sudah seharusnya PNS harus diatur oleh PNS juga tetapi SekDa yang terpilih itu merupakan pilihan murni kementrian dalam negeri tanpa melalui usulan Bupati atau Gubernur di daerah agar tidak terjadi lagi bahwa SekDa juga akhirnya yang memainkan kembali peran kepala daerah itu sehingga proses pemerintahan itu msh di intimidasi kepentingan politik penguasa. Cara Kedua, melalui lelang jabatan yang menggunakan kriteria yang jelas dengan persyaratan yang jelas sehingga terjadi transparansi di dalam penentuan jabatan mulai dari esselon IV sampai esselon 1. Sedangkan untuk Instansi Pusat sebaiknya pejabat di pucuk pimpinan di kementrian dan Lembaga diambil bukan dari kalangan politik tetapi dari kalangan professional, akademisi atau PNS yang dirasa sudah mampu memegang pucuk pimpinan itu dan sudah menjalani jenjang karir di pemerintahan dengan kata lain sebaiknya kementrian dan lembaga Negara tidak di isi oleh pejabat poltik tetapi diisi oleh pejabat karir misalnya PNS atau akedemisi karena kementrian dan lembaga Negara merupakan struktur birokrasi yang harus lepas dari kepentingan politik dan profesional melayani dan mengabdi pada Negara.
Artikel ini dibuat oleh:
1.       Satria Eka Tri Laksana, S.IP
(Peneliti Bidang Administrasi Negara, LAN)