blog ini berisi hasil bacaan, hasil browsing, hasil diskusi, tulisan-tulisan baik jurnal ataupun tulisan lepas lainnya semoga blog ini bisa menjadi referensi buat tmn2 yg membutuhkan pengetahuan.... karena jgn pernah membatasi diri untuk mencari ilmu... karena sebuah kebodohan jika ilmu di batasi...

Kamis, 10 November 2016

KOMPLEKSITAS MASALAH DALAM PENGELOLAAN TAMBANG DI BUMI BORNEO (LOKUS DI KOTA SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR)

KOMPLEKSITAS MASALAH DALAM PENGELOLAAN TAMBANG
DI BUMI BORNEO (LOKUS DI KOTA SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR)
The Complexity of The Problems in The Management of Coal Mining in Borneo Earth
(Locus in the city of Samarinda, East Kalimantan)

Satria Eka Tri Laksana
Analis Kebijakan Pada Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
Jl. Raya Baruga No.48 Antang – Makassar
e-mail: satriagovernment09@gmail.com

Abstrak
Kalimantan adalah pulau yang memiliki cadangan batubara sekitar 50% dari total cadangan batubara Indonesia, dan sekitar 73% terpusat di Kalimantan Timur. Provinsi ini menjadi pusat pengerukan batubara yang menyumbang 5,9 Juta hektar dari 12,7 juta hektar luas Kalimantan Timur atau sekitar 48% wilayahnya menjadi konsesi pertambangan. Termasuk di dalamnya Samarinda-Ibukota Provinsi Kalimantan Timur- yang 71% wilayahnya masuk dalam konsesi pertambangan batubara. Luasan Ijin konsesi pertambangan batubara ini, kebanyakan dikeluarkan pada masa otonomi daerah sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sekitar 63 IUP batubara terbit di Samarinda, yang menjadikan kawasan Samarinda minim ruang terbuka hijau, yaitu hanya sekitar 1,8 %, selain itu banyaknya penyalahgunaan tanggung jawab yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan batubara, serta minimnya pengawasan pemerintah, hingga menyebabkan 25 orang kehilangan nyawa, 24 orang di antaranya meninggal di lubang bekas tambang dan 1 orang tewas akibat luka bakar batubara.
Kata Kunci: Kalimantan, Samarinda, Manajemen Pertambangan, Batubara
Abstract
Borneo is an island that has coal reserves of approximately 50% of total coal reserves of Indonesia, and about 73% concentrated in East Kalimantan. The province became the center of dredging coal accounts for 5.9 million hectares from 12.7 million hectares in East Kalimantan or about 48% of its territory into mining concessions. Including the capital city of East Kalimantan Province is Samarinda 71% of its territory included in the coal mining concession. Permit area of ​​coal mining concessions, most issued during the regional autonomy since the enactment of Law No. 22 Year 1999 on Regional Government. About 63 coal IUP published in Samarinda, which make the region Samarinda lack of green open space, which is only about 1.8%, in addition to the many abuses of responsibility undertaken by coal mining companies, and the lack of government oversight, causing 25 people lost their lives, 24 of whom died in the pits and one person died from burns coal.
KeyWords: Borneo, Samarinda, Mining Management, Coal

PENDAHULUAN
Indonesia pernah menempati urutan ke tiga produsen batubara terbesar dunia pada 2014, dan tercatat sebagai salah satu eksportir batubara terbesar kedua dunia sampai 2010[1]. Sekitar 70 sampai 80 persen batubara diekspor ke Jepang, Cina, India, Korea Selatan, dan beberapa negara ASEAN lain, sementara untuk konsumsi domestik sekitar 20 persen.[2]
Pada awal 1990an, ketika sektor pertambangan batubara dibuka kembali untuk investasi luar negeri, Indonesia mengalami peningkatan produksi, ekspor dan penjualan batubara dalam negeri secara signifikan. Sejak 1996 hingga 2010, produksi batubara Indonesia terus mengalami pertumbuhan rata-rata 14,8 persen pertahun, dan pertumbuhan rata-rata ekspor batubara Indonesia adalah 15,1 persen pertahun. Tahun 2010, Indonesia berhasil memproduksi batubara 325 Juta ton, dengan jumlah ekspor 265 juta ton dan penggunaan domestik sebesar 60 Juta ton atau 18 persen dari total produksi.[3]
Seabad kemudian, di Kalimantan Timur penemuan batubara sudah dilakukan sejak masa kolonial. Pada 1888, sempat dimulai penambangan batu bara di Palarang. Itu bermula ketika Belanda menempatkan Assistant Resident di Palarang untuk mengawasi wilayah Kerajaan Kutai di bagian timur. Palarang yang dimaksud adalah kawasan yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Palaran, Kelurahan Rawa Makmur dengan jarak 8 mil (sekitar 13 kilometer) di hilir samarinda. Pejabat Assistant Resident pertama adalah H. Van de Wall sebagai wakil dari Resident der Zuider-en ooster-Afdeeling van Borneo. Kedudukan Assistant Resident di Palarang yang melakukan pengawasan penuh terhadap Kesultanan Kutai berlangsung sampai tahun 1870. Selanjutnya, kedudukannya dipindahkan ke daerah seberang dari Palarang, yakni Samarinda kota yang sekarang.[4]
Sejarah penemuan batubara di Kalimantan Timur menjadi pijakan Industri ekstraktif batubara hingga kini di Kaltim. Meskipun, dalih ekonomi berkata dengan masuknya Industri batubara, akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat karena terbukanya kesempatan kerja, serta menambah PDRB dan APBD Kaltim, akan tetapi aspek pemeliharaan lingkungan hidup yang aman dan nyaman adalah persoalan penting yang ternyata diabaikan. Masuknya tambang batubara, selain menyebabkan kebangkrutan ekologis bagi Kaltim, ternyata juga memperparah kondisi sosial masyarakat. Karena, lubang tambang yang selama ini dibiarkan menganga oleh perusahaan tambang, tanpa upaya reklamasi, hingga menyebabkan 24 nyawa (15 Korban di Kota Samarinda) manusia melayang yang kebanyakan adalah anak-anak.
Adanya pelanggaran yang kerap dilakukan oleh perusahaan pertambangan, tentu tak lepas dari kualitas pengawasan dan kebijakan yang dikeluarkan, baik oleh pemerintah pusat, hingga daerah. Sehingga, perlu kiranya untuk melihat kembali, bagaimana kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam menyikapi persoalan pertambangan, yang semakin hari semakin diperparah oleh bencana ekologis dan krisis kemanusiaan karena telah menghilangkan nyawa manusia.

TINJAUAN PUSTAKA
A.  Pertambangan Batubara
Istilah batubara merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu coal. Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat di alam dalam tingkat/grade yang berada dari lignit, subbitumine, antarasit.[5]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, Pasal 1 angka 3 juga menyebutkan bahwa: “Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan”.
Adapun kegunaan batubara adalah untuk :
-     Pembangkit listrik
-     Pabrik semen
-     Industri pulp; dan
-     Lainnya
Karena tingginya penggunaan batubara untuk industri semen dan PLTU disadari, sehingga penggunaannya pun dilakukan secara terus menerus, sebab batubara mempunyai kelebihan, yaitu ;
a)    Penekanan biaya produksi yang disebabkan oleh haraga batubara (persatuan energi) yang lebih murah daripada jenis energi lain
b)   Peranan batubara dan dibandingkan dengan peranan sumber energi lain sampai pada akhir tahun 1984 masih sangat rendah ialah hanya 0,51 % dari total konsumsi energi, sedangkan pada tahun 1994 telah meningkat menjadi sekitar 8,8 % (Sukandarrumidi, 1995:1-2)[6]
Dampak Pertambangan Batubara
Menurut Salim (2005), Dampak adalah suatu perubahan atau efek yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas yang tidak direncanakan diluar sasaran. Dampak dapat bersifat biofisik dan/atau dapat juga bersifat sosial-ekonomi dan budaya.[7]
Dampak postif merupakan pengaruh dari adanya pertambangan batubara terhadap hal-hal yang bersifat praktis (nyata) dan konstruksil (membangun). Hal itu meliputi:
a)    Membuka daerah terisolasi dengan dibangunnya jalan pertambangan dan pelabuhan
b)   Sumber devisa negara
c)    Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
d)   Sumber energi alternatif, untuk masyarakat lokal:
e)    Menampung tenaga kerja (Asis Djajadiningrat, 2003)[8]
Dampak negatif pertambangan batubara merupakan pengaruh yang kurang baik dari adanya industri penambangan batubara, hal itu dapat meliputi :
a)    Sebagian perusahaan pertambangan yang dituding tidak memperhatikan kelestarian lingkungan
b)   Penebangan hutan untuk kegiatan pertambangan
c)    Limbah kegiatan pertambangan yang mencemari lingkungan
d)   Areal bekas penambangan yang dibiarkan menganga
e)    Membahayakan masyarakat sekitar;
f)    Sengketa lahan pertambangan dengan masyarakat sekitar;
g)   Kontribusi bagi masyarakat sekitar yang dirasakan masih kurang;
h)   Hubungan keterlibatan daerah dalam kegiatan pertambangan masih kurang (Asis Djajadiningrat, 2003)[9]

B.  Hukum Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pertambangan merupakan rangkaian kegiatan dalam upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengelolaan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas).
Pengertian sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Pasal 1 dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.    Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
2.    Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah
3.    Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
Hal yang berhubungan langsung dengan pertambangan adalah pengaturannya, atau bisa disebut dengan hukum pertambangan. Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih mineral-mineral dalam tanah[10]. Secara terminologi, Hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum dan pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian tambang[11]
Lahirnya konsesi pertambangan dibeberapa daerah didasari karena adanya pemberian izin berdasarkan aturan hukumnya. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 bahwa Izin Usaha pertambangan (IUP) terbagi menjadi dua, yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. Di mana, IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan, sedangkan IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya, Pasal 37, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menyebutkan bahwa IUP diberikan oleh:
a.    Bupati/walikota apabila WIUP berada di dalarn satu wilayah kabupaten/ kota;
b.    Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota seternpat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
c.    Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsisetelah mendapatkan rekomendasi dari gubel-nur clan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bentuk perizinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 melibatkan dua pihak, yang mana satu pihak memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding pihak yang satunya, sehingga pihak yang lebih tinggi dapat mencabut kuasa perizinannya apabila pihak yang lebih  rendah melanggar peraturan-peraturan yang ada. Dalam hal ini, pihak yang lebih tinggi adalah Pemerintah Indonesia, sementara pihak yang lebih rendah adalah perusaahan tambang batu bara.
Syarat-syarat wilayah usaha pertambangan batubara diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009, Pasal 18 ayat (1) yang menyebutkan “kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai berikut:
d.   letak geografis;
e.    kaidah konservasi;
f.     daya dukung lindungan lingkungan;
g.    optimalisasi sumber daya mineral dan/ atau batubara; dan
h.    tingkat kepadatan penduduk.
Dari poin per poin yang disebutkan, merujuk pada kesimpulan bahwa dalam pemberian atau penetapan WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan), baik pemerintah maupun perusahaan harus memperhatikan aspek dan daya dukung lingkungan, maka dari itu setiap perusahaan harus memenuhi kaidah-kaidah yang telah ditetapkan berdasarkan AMDAL[12], atau UKL dan UPL. Artinya, batubara sebagai sumber daya alam yang menjadi sumber pendapatan baik oleh negara maupun perusahaan, itu dilakukan demi kemashlatan masyarakat, dan lokasinya tidak berada di sekitar pemukiman atau dekat dengan kepadatan penduduk. Sementara itu, persyaratan lain juga harus terpenuhi meliputi syarat administrasi, teknis, finansial dan aspek lingkungan.
Pada kenyataannya, masalah yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan batubara tak pernah habis. Baik karena kelalaian pihak perusahaan melakukan kewajibannya, maupun minimnya pengawasan pemerintah. Padahal, perusahaan yang melakukan pelanggaran berupa tindak pidana dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 119, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, bahwa IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:
a.    Pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang- undangan;
b.    Pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau
c.    Pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

C.  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi Dan Pascatambang
Berdasarkan definisi dalam UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Reklamasi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kondisi lingkungan dan ekosistem. Sedangkan Pascatambang diartikan sebagai kegiatan setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan dan fungsi sosial.
Untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyinggung soal reklamasi dan pascatambang, hadirlah Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang yang memberi amanat kepada setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan dan melaksanakan rencana reklamasi dan pascatambang.
Dalam menyusun rencana pascatambang, pemegang IUP dan IUPK harus berkonsultasi dengan instansi pemerintah dan/atau instansi pemerintah daerah yang membidangi pertambangan mineral dan/atau batubara, instansi terkait, dan masyarakat. Hal itu dilakukan untuk mengakomodir kepentingan pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Pasal 20 Ayat;
(1)     Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sampai memenuhi kriteria keberhasilan.
(2)     Dalam melaksanakan reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (I), pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi haas menunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan reklamasi dan pascatambang.

Selain itu Pasal 21 juga menyebutkan, pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan 20 wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan terganggu.
METODE PENELITIAN
Fokus penelitian ini untuk melihat masalah yang ada dalam pengelolaan tambang batubara di Borneo Khususnya Kota Samarinda, Kalimantan Timur, dengan demikian Lokus penelitian ini lebih dipersempit untuk kota samarinda, Kalimantan Timur dengan melihat dampak lingkungan akibat tambang batubara yang terparah di kalimantan timur ada di kota samarinda, dengan 71% wilayahnya masuk dalam konsensi pertambangan batubara
Penelitian Ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran/deskripsi tentang bagaimana pengelolaan tambang batubara serta masalah-masalah yang ada di bumi borneo khususnya di Kota Samarinda, Kalimantan Timur oleh karenanya penulis menggunakan metode Deskriptif-Kualitatif
Metode pengumpulan data  menggunakan teknik wawancara dan studi dokumentasi berupa peraturan-peraturan yang ada dan untuk Metode penentuan sampel menggunakan purposive sampling yaitu teknik penentuan sample dengan pertimbangan tertentu oleh penulis guna mendapatkan data yang lebih representatif.
Dalam penelitian ini, teknik uji kredibilitas data yang dilakukan peneliti adalah membandingkan hasil wawancara, serta pengamatan langsung di lapangan dengan isi suatu dokumen.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Terbitnya Izin Usaha Pertambangan
Dalam dokumen MP3I halaman 97 tertulis huruf cetak tebal, Kalimantan sebagai “Pusat Produksi Dan Pengelolaan Hasil Tambang Dan Lumbung Energi Nasional”, yang berpusat pada kota Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, dan Samarinda, yang terkoneksi melalui Jalur Penghubung Koridor ekonomi.
Kata lumbung energi, memang layak disandang oleh Kalimantan. Sebab, hampir 50% dari total batubara di Indonesia berada di Kalimantan, yang 70% terpusat di Kalimantan Timur.[13] Celakanya, batubara yang diambil dari Kalimantan bukan untuk memenuhi kebutuhan energi di Kalimantan, melainkan sekitar 80% diekspor untuk kebutuhan energi negara luar. Sementara untuk kebutuhan domestik hanya sekitar 20%.
Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur tercatat 1192 IUP batubara di Kalimantan Timur pada 2014, diantaranya 765 dalam tahap eksplorasi dan 427 tahap produksi. Tambang di Kalimantan Timur, sudah mengkapling 5,9 Juta hektar dari 12,7 juta hektar luas Kalimantan Timur, itu artinya 48 persen luas wilayahnya sudah dikuasai Tambang.
Samarinda sebagai Ibukota provinsi Kalimantan Timur dengan luas 718 km persegi (71.800 Ha) atau sekitar 0,37 persen dari luas keseluruhan Kalimantan Timur, menyumbang 71% wilayahnya untuk konsesi pertambangan batu bara, tumpang tindih dengan pemukiman, perumahan, persawahan, dan kawasan hutan.[14]
Kota Samarinda terdiri dari 10 kecamatan, dan 53 Kelurahan.[15] Ada 5 Ijin pertambangan dalam bentuk PKP2B yang sepenuhnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat, 1 IUP Pemerintah Propinsi, dan 63 IUP (dua di antaranya dicabut) yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah Kota Samarinda saat Ahmad Amins bersama wakilnya Syaharie Jaang memegang tampuk kekuasaan sebagai Walikota Samarinda selama dua periode (2000-2010). Dengan luasan masing-masing 33,48% PKP2B, 3,25% IUP Propinsi, 38,37% IUP Kota.[16]
Luasan wilayah pertambangan yang dramatis itu bermula ketika berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan sistem desentralisasi, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk menerbitkan ijin pertambangan dengan terbitnya PP No. 75 Tahun 2001, di mana bupati/walikota berwenang menerbitkan Ijin Kuasa Pertambangan (IKP)[17]. Atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memaksimalkan potensi daerah, maka IUP dikontrol dan dipegang oleh Walikota/Kepala Daerah.
Sejak 71 persen lahan Samarinda menjadi konsesi tambang batubara, hal itu juga berpengaruh signifikan terhadap bencana banjir yang kerap melanda kota Samarinda. Setiap tahun, jumlah titik banjir terus naik. Meminjam data milik Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Samarinda, hingga kini terdapat lebih 500 titik banjir yang tersebar di seantero kota. Titik rawan terbanyak ada di kawasan Kecamatan Sungai Pinang.[18]
Sampai 2013, Pemerintah Kota Samarinda mengeluarkan dana sebesar Rp 850 miliar untuk penanganan banjir, sedangkan pendapatan pertambangan batubara hanya Rp 113 miliar. Bahkan, dana untuk biaya penanganan banjir ini naik tiap tahun[19]. Alhasil, Samarinda lagi-lagi merugi. Kerugian ini bukan hanya dialami oleh pemerintah kota, tetapi rakyat pun harus menanggung kerugian karena rumah dan ladangnya tergenang banjir setiap kali turun hujan minimal 2 jam. Hal ini diakui oleh Mbak Minah, RT 01 Sempaja Utara yang rumahnya sering tergenang banjir sebelum didongkrak lebih tinggi
“Bukan Samarinda pang namanya, kalau tidak banjir. Hujan deras 2 jam aja, terendam banjir sudah jalan ini, sampai masuk ke dalam rumah. Rumah saya ini, sudah didongkrak dua kali pang, dan biayanya tidak murah. Satu kali dongkrak itu keseluruhan sampai badan rumah, bisa sampai 24 juta” ujarnya
Namun, kerugian yang selama ini ditafsirkan hanya pada bentuk nominal, seberapa besar kucuran dana dari pemerintah digelontorkan untuk menanggulangi bencana banjir. Sementara kerugian yang dialami masyarakat yang jumlahnya tak kalah besar, justru tidak dihitung.
Selain bencana banjir, industri tambang batubara juga dimanfaatkan sebagai alat politik. Data hasil penelitian yang dilakukan Jatam Kaltim, luasan pertambangan akibat IUP baru di Samarinda juga bertambah signifikan saat digelarnya pemilu kepala daerah hingga legislatif sejak tahun 2000 dan seterusnya. Itu diduga, menyangkut biaya politik yang harus dikeluarkan dan harus segera mendapatkan gantinya. Pada 2001, Ahmad Amins dan wakilnya Syahrie Jaang mengeluarkan 1 ijin tambang batubara seluas 87,52 hektar, pada 2005 bertambah menjadi 38 ijin seluas 20.323,1 hektar, dan naik pada 2009 menjadi 76 ijin seluas 27.556,66 hektar. Itu artinya ada peningkatan pengeluaran Ijin hingga 130 % hanya dalam kurun waktu 5 tahun[20]. Namun, karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan perusahaan pertambangan batubara sehingga belakangan beberapa perusahaan dicabut ijinnya.
Keputusan pemerintah menjadikan 71% wilayah Samarinda menjadi konsesi pertambangan batubara memang bukan hal yang masuk akal. Pemberian ijin ini terkait wilayah konsesi tambang yang diduga tanpa berpedoman pada RTRW kota Samarinda yang sejak tahun 2004 telah kadaluarsa, sebab berdasarkan Perda RTRW Nomor 20 Tahun 2002, hanya berlaku sejak 1994 hingga 2004, dan baru dibuat kembali pada 2014. Artinya, nyaris 10 tahun Samarinda vakum tata ruang hingga 2013, dan sejak 2005 Samarinda dimanfaatkan oleh mafia tambang untuk mendapatkan IUP.
Samarinda Kota “TEPIAN”, kepanjangan dari Teduh, Rapi, Aman, dan Nyaman. Begitulah slogan yang dipakai Samarinda untuk menggambarkan kondisi kota. Namun, slogan ini hanyalah rangkaian kata belaka. Sebab banyak kerancuan yang melilit Samarinda, salah satunya dengan melihat perbandingan jumlah penduduk sebanyak 805.688 ribu jiwa[21] yang lumayan besar, dengan wilayah konsesi  pertambangan yang luas, mengakibatkan ruang terbuka hijau kini sekitar 1,8%[22], Sementara dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa ruang terbuka hijau minimal 30% dari wilayah kota.
Salah satu upaya mengatasi masalah pertambangan dilakukan oleh KPK melalui Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK dalam Bidang Mineral dan Batubara diluncurkan pada 2014, Pencabutan Izin menjadi salah satu upaya penegakan hukum administratif yang ditawarkan oleh Korsup minerba KPK untuk mengurai dan menyelesaikan permasalahan pertambangan. Maka pada akhir 2015, salah satu langkah mengiringi pencabutan izin sejumlah perusahaan yang bermasalah, yaitu dengan keluarnya Peraturan Menteri ESDM No 43 Tahun 2015 Tentang Evaluasi dan Tata Cara Pencabutan Izin yang tidak  Clean and Clear ( Non CnC).
Sesuai dengan rekomendasi Korsup KPK dan Permen ESDM No 43 Tahun 2015 juga dinyatakan bahwa 12 Mei 2016 adalah Batas waktu bagi Gubernur se-indonesia untuk melakukan evaluasi dan pencabutan izin bagi tambang yang Non CnC. Menurut Data Jatam Kaltim (2015) terdapat 330 IUP Minerba yang tidak CnC di Kaltim.  Sehari sebelum batas waktu Gubernur, pada 11 Mei 2016, Koalisi Anti Mafia Tambang Kaltim melakukan aksi di depan kantor Gubernur. Aksi ini didasari atas temuan data dari Koalisi Anti Mafia Tambang, menyebutkan bahwa terdapat 17 IUP dan PKP2B yang menyebabkan 24 Anak-anak tewas di Lubang dan Eks Tambang Batubara. Terdapat juga 42 Izin Tambang yang mengkapling Kawasan Hutan Konservasi Tahura Bukit Suharto.[23] Alhasil,  Gubernur Kaltim –Awang Faroek- akhirnya menetapkan, 113 IUP[24] akan dicabut sebagai daftar perusahaan yang Non Clean and Clear.
Sejak massifnya pertambangan batubara di Samarinda, pemerintah kota Samarinda beberapa kali mengeluarkan aturan untuk mengatur kegiatan pertambangan, salah satunya adalah dengan terbitnya Peraturan Walikota Samarinda Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pengaturan Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Non subsidi bagi Kegiatan di Bidang Pertambangan Batubara dan Jenis Kendaraan Pribadi. Namun sejak terbitnya pada Maret 2012, tidak terlihat adanya petugas kepolisian maupun Satpol PP dan Dinas Perhubungan yang memantau pembelian BBM di sejumlah SPBU di Samarinda.
Tambang dan dugaan Korupsi
Pemerintah daerah yang diberikan keistimewaan menerbitkan ijin pertambangan, ternyata kerapkali dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memperoleh ijin pertambangan melalui jalur “bawah meja”. Maka tak heran jika pemerintah daerah bermurah hati memberikan kelonggaran memperoleh izin, pemanfaatan fasilitas publik, penggunaan aparat keamanan, pelimpahan kewajiban reklamasi pada Negara atau pihak ketiga.
Selain itu, adanya deregulasi besar-besaran yang dilakukan oleh Pemerintah dalam industri tambang dan energi. Dimulai dengan penyelenggaraan Perizinan Terpadu Satu Pintu di BKPM[25]. Mulai dari Izin Lingkungan, AMDAL hingga Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, semuanya diurus di BKPM.
Jika ditengok angka rupiah dibawah ini, setiap izin yang dikeluarkan selalu melahirkan kucuran dana ke kantong pejabat, sebagai hasil dari balas jasa dari perusahaan sebagai ucapan “terima kasih”.




Dari data ini, terdapat dua kategori pembayaran. Yaitu tarif resmi yang wajib dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh IUP dari pemerintah daerah mulai dari tahap penyelidikan, eksplorasi hingga eksploitasi. Sementara kolom yang diberi judul “Versi Pengusaha” adalah anomali dari realisasi pembayaran yang seharusnya. Data perbandingan di atas bisa menjadi rujukan berapa kucuran dana yang diterima oleh pejabat, hingga IUP diterbitkan.
Data ini semakin diperkuat oleh adanya temuan dugaan korupsi dalam penerbitan izin pertambangan. Ada dua nama yang disebut-sebut menerima gratifikasi atas pemberian izin usaha pertambangan (IUP) PT Graha Benua Etam (GBE). Kedua orang yang sebelumnya berstatus pejabat negara tersebut adalah mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Samarinda Rusdi Arya Rasyid dan mantan Wali Kota Samarinda Achmad Amins karena menerima sejumlah uang dalam bentuk cek transferan yang diberikan oleh perusahaan kepada Rusdy Asrya Rasyid. Gratifikasi diduga diberikan pada 2008 menjelang Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur yang diikuti Amins. Dana tersebut ditengarai untuk membiayai kampanye pilgub. Keduanya sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Indonesian Corruption Watch (ICW).[26]
Munculnya Perda No 12 Tahun 2013, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tak bisa menjadi solusi,  khususnya menyangkut kewenangan pengelolaan usaha pertambangan umum sebagaimana di maksud dalam pasal 3 ayat ayat (2) bahwa dalam pelaksanaannya, Walikota dapat melaksanakan kerjasama dengan pihak ketiga. Siapakah pihak ketiga? Tentu saja pihak swasta atau non pemerintahan, kehadiran pihak ketiga dalam pengeloaan pertambangan akan membuat ekonomi daerah tidak berkembang dan penghidupan rakyat akan semakin melarat bertentangan dengan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kewenangan ini bersifat mutlak, dan tidak boleh diserahkan kepada pihak ketiga.
Tambang dan Penyelewengan Kewajiban
Jatam Kaltim mencatat, terdapat 232 lubang tambang yang belum direklamasi di Samarinda, dan kerap menjadi ancaman bagi warga. Dari tahun 2011 hingga 2016, jumlah korban yang mati tenggelam di lubang bekas tambang sebanyak 24 orang di Kalimantan Timur yang kebanyakan adalah anak-anak, 1 orang mati akibat luka bakar. Namun, penanganan proses hukum tidak berjalan secara serius. Hingga kini kebanyakan masih dalam tahap penyidikan di kepolisian sejak korban pertama pada 2011.
"Masalahnya di kepolisisan itu hanya KUHP pasal 359, tentang kelalaian. Dari seluruh cerita anak (korban) di lubang tambang ini, ada satu kasus yang sudah naik ke pengadilan. Itu diputus dengan vonis, 2 anak meninggal umur 5 tahun, divonis hukumannya itu 2 bulan penjara dan denda seribu rupiah," Ujar Merah Johansyah saat diskusi bersama KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), (12 April 2016)
Banyaknya kasus orang mati tenggelam di lubang bekas tambang disebabkan karena minimnya pengawasan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya tenaga Inspektur Tambang yang mengawasi jalannya kegiatan pertambangan. Tribun Kaltim mencatat, Jumlah tenaga Inspektur Tambang di Provinsi Kaltim sangat terbatas. Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis 1.440 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kaltim hanya diawasi 17 Inspektur Tambang.[27] Sehingga, pihak perusahaan yang lalai mematuhi aturan pertambangan semakin menjadi-jadi, seperti tidak memasang pelang atau tanda peringatan di tepi lubang serta tidak ada pengawasan dari pihak perusahaan yang menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang sejak awal. Aturan ini termuat dalam Keputusan Menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995. Namun, beberapa perusahaan tidak mengindahkan aturan tersebut.
Selain itu, ditemukan lubang tambang berada di sekitar pemukiman dan rumah penduduk, yang diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2012 Tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, yaitu jarak 500 meter tepi lubang galian dengan Pemukiman warga. Namun kenyataan yang ditemukan di lapangan, kebanyakan kurang dari 500m. Seperti kasus yang menimpa bocah bernama Aprilia, di kelurahan Lok Bahu. Lubang tambang yang diduga milik  perusahaan tambang PT. Transisi Energi Satunama hanya berjarak sekitar 30 meter saja dari rumah penduduk. Lubang bekas tambang yang dibiarkan menganga ini, menurut informasi warga sekitar sudah dibiarkan 2 tahun.
“Lubang bekas tambang yang dibiarkan menganga dan diisi air bak danau ini, menurut informasi warga sekitar sudah dibiarkan 2 tahun,” kata Mareta Sari, Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT) yang berada di lapangan saat pencarian jenazah Aprilia.
Dari kelalaian tersebut, hal ini melanggar Pasal 19-21 Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010, bahwa paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan tambang pada lahan terganggu wajib di reklamasi.
Sumber : CNN Indonesia
Peristiwa yang dialami Aprilia hanyalah satu dari 15 potret kasus anak tenggelam, yang juga disebabkan karena kelalaian perusahaan pertambangan dalam menjalankan kewajiban. Kelalaian ini juga dilakukan oleh perusahaan lain, yang telah menyebabkan hilangnya nyawa anak lainnya.


Daftar Anak – anak Korban Lubang Tambang Kota Samarinda Sejak 2011 – 2016
NO
Perusahaan
Korban
Lokasi
Waktu Kejadian
WILAYAH
1
PT. Hymco Coal
Miftahul Jannah (10)
Sungai Kerbau Kec. Sambutan
13 Juli 2011
Samarinda
2
PT. Hymco Coal
Junaidi (13)
Sungai Kerbau Kec. Sambutan
13 Juli 2011
Samarinda
3
PT. Hymco Coal
Ramadhani
Sungai Kerbau Kec. Sambutan
13 Juli 2011
Samarinda
4
PT. Panca Prima Mining
 Dede Rahmad (Eza) (6)
Sambutan Idaman Permai, Pelita 2
24 Desember 2011
Samarinda
5
PT. Panca Prima Mining/ PD. PAU
Emaliya Raya Dinata (Ema)  (6)
Sambutan Idaman Permai, Pelita 2
24 Desember 2011
Samarinda
6
PT. Insani Bara Perkasa
Maulana Mahendra (11)
Blok B RT.20, Simpang Pasir, Palaran
25 Desember 2012
Samarinda
7
Tak teridentifikasi
M. Shendy (8)
Sambutan, Pelita 4, Handil Kopi, Blok L No 4
14 Maret 2013
Samarinda
8
PT. Energi Cahaya Industritama
Nadia Zaskia Putri (10)
Kel. Rawa Makmur Kec. Palaran
08 April 2014
Samarinda
9
PT. Graha Benua Etam
M Raihan Saputra (10)
Sempaja
22 Desember 2014
Samarinda
10
PT. Cahaya Energi Mandiri
Ardi Bin Hasyim (13)
Kel. Sambutan
23 Mei 2015
Samarinda
11
PT Lana Harita Indonesia
Muhammad Yusuf Subhan (11)
Sungai Siring
24 Agustus 2015
Samarinda
12
PT Transisi Energi satunama
Aprillia wulandari (12)
Lok Bahu
18 November 2015
Samarinda
13
CV Atap Tri Utama
Koko Handoko (16)
Bantuas, Palaran
08 Desember 2015
Samarinda
14
CV Panca Bara Sejahtera
Kusmayadi (22)
Samarinda Ulu
03 Mei 2016
Samarinda

15
PT. Insani Bara Perkasa
M. Arham (5)
(setelah amputasi 6 kali operasi  27 hari d RSUD A. Moes)
Samarinda Ulu
06 Mei 2016
Samarinda
(terbakar)

Sumber : Jatam Kaltim
Setelah banyaknya kasus orang meninggal tenggelam di lubang bekas tambang, Dinas Pertambangan dan Energi baru membentuk Komisi Pengawas Reklamasi, yang ditetapkan melalui Pergub Nomor 53 Tahun 2015 tentang Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang Daerah. Tugasnya adalah untuk mengawasi perusahaan dalam menjalankan kewajibannya, terutama melakukan reklamasi lubang tambang yang selama ini meresahkan sekaligus mengancam nyawa manusia.
Komisi ini beranggotakan 7 orang dari akademisi dan profesional. Ada 3 orang perwakilan pemerintahan dari Balai Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Kaltim, Distamben Provinsi Kaltim, dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedangkan 4 orang yang lain dipilih melalui proses seleksi, dengan latar belakang pendidikan di bidang kehutanan, pertambangan, lingkungan, dan hukum.
Namun sejak terbentuknya pada 16 Mei 2016, Komwas ini belum juga menunjukkan progress yang nyata terhadap lubang tambang di Kalimantan Timur maupun Kota Samarinda. Teror lubang tambang ini terus berlanjut karena ada 232 lubang tambang di Kota Samarinda dan 630 seluruh Kaltim tidak direklamasi. Masyarakat bahkan masih bertanya-tanya dengan keberadaan Komwas Reklamasi dan Pasca tambang, karena hingga saat ini belum ada pencapaian yang diraih. Sehingga pada 7 Oktober 2016, Aliansi Masyarakat Sipil menggelar aksi di depan kantor Gubernur untuk mendesak Gubernur Kaltim- Awang Faroek- agar memberi peringatan kepada Komwas Reklamasi dan Pascatambang yang masa tugasnya 2 tahun, untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan serius.[28]
Selain lembaga independen yang dibentuk oleh daerah, lembaga independen pusat juga turun tangan untuk menyelesaikan kasus anak tenggelam dilubang tambang Kalimantan timur. KPAI melakukan hearing dengan Komisi IV DPRD Kaltim, Rabu (13/4) termasuk juga SKPD terkait dilingkungan Pemprov Kaltim, seperti Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Samarinda, Badan Pemberdayaan Perempuan Masyarakat dan Keluarga Berencana (BPPMKB) Kaltim, Polda Kaltim, Dinas Kesehatan Kaltim, Dinas Pendidikan Kaltim, Dinas Sosial Kaltim dan LSM Jatam Kaltim. Hearing tersebut menghasilkan beberapa kesekapatan, salah satunya pembentukan Panitia Khusus (Pansus) anak korban tambang hingga penegakan hukum terhadap korban lubang tambang di Kaltim.
DPRD Provinsi Kalimantan Timur merespon cepat hasil hearing bersama KPAI dengan membentuk penitia khusus reklamasi dan investigasi korban bekas lubang tambang di kaltim pada  pada 21 Juni 2016. Ini diisi 12 wakil dari berbagai partai dan bekerja dalam waktu tiga bulan sejak terbentuk. Dukungan publik terus berdatangan kepada DPRD Prov Kaltim, sangat diharapkan agar pansus yang telah terbentuk ini benar-benar menjadi solusi bagi keluarga korban yang tenggelam di lubang tambang mendapatkan keadilan dan diperlakukan secara adil dimata hukum dan pemerintah. Namun, kinerja Pansus pun tak bisa sepenuhnya diharapkan. Informasi penting berupa data valid lubang tambang di Kalimantan Timur pun tidak disebutkan.
Beberapa tim peninjau kegiatan pertambangan sudah dibentuk. Namun kinerjanya masih belum memberi kontribusi bagi masyarakat. Hal ini menjadi tanda bahwa adanya potret buruk pengawasan industri pertambangan di negeri ini.


PENUTUP

Kesimpulan
Kegiatan pertambangan batubara di Samarinda bagaikan uang logam yang memiliki dua sisi. Selain memberikan dampak positif dengan terbukanya kesempatan kerja bagi masyarakat, juga memberikan dampak yang nyata pada kerusakan lingkungan sehingga ekosistem yang ada di lingkungan itu menjadi rusak, bahkan dapat membahayakan ekosistem di lingkungan sekitarnya. Misalnya kasus korban anak tenggelam di lubang bekas tambang adalah bukti nyata dari potret kelalaian perusahaan dan minimnya pengawasan pemerintah dalam upaya penegakan hukum dan manajemen pertambangan batubara yang tidak terlaksana dengan baik. Untuk itu diperlukan cara memperbaiki dan mengembalikan fungsi lahan bekas tambang agar tidak terjadi kerusakan yang berkelanjutan, serta manajemen pengolahan pertambangan batubara baik oleh pemerintah maupun pihak perusahaan harus memikirkan kelangsungan alam jangka panjang, karena hal tersebut berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat.
Belum lagi upaya penegakan hukum yang tidak berjalan secara efektif menanggapi kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang batubara dan pejabat pemerintah. Sehingga, tidak memberikan efek jera kepada pihak yang melakukan pelanggaran hukum tersebut. Alhasil, kasus pelanggaran semakin banyak terjadi.

Saran
Terkait kompleksitas masalah yang dipaparkan, penulis menyampaikan saran-saran yang kiranya dapat bermanfaat bagi pihak terkait dan pihak-pihak yang ingin mengembangkan penelitian sejenis, saran-saran tersebut diantaranya sebagai berikut:
Pemerintah diharapkan :
1.      Melakukan pengawasan yang lebih tegas, mulai dari pemerintah desa, badan lingkungan hidup kota dan badan lingkungan hidup kabupaten pada saaat perusahaan membuka lahan baru, sehingga tidak menimbulkan limbah yang dapat mencemari lingkungan.
2.      Adanya upaya penegakan hukum terhadap pihak perusahaan tambang batubara maupun pemerintah yang melakukan pelanggaran hukum.
3.      Memaksimalkan kinerja pemerintah yang terkait dengan urusan tambang batubara di Samarinda (BLH, KLHK, Distamben, Kecamatan, Kelurahan, RT, dll) serta menambah jumlah inspektur tambang untuk mengawas jalannya kegiatan pertambangan.
4.      Memperketat dan memberikan standarisasi yang layak untuk penerbitan izin pertambangan di Kota Samarinda, Tidak lagi memberikan izin tambang baru di Kota Samarinda. Mengevaluasi izin-izin tambang batubara yang sudah ada di Kota Samarinda.
DAFTAR PUSTAKA
Salim, H.S. 2004. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Salim HS., 2005. Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, Cetakan Pertama, 2011
UUD 1945 pasal 33
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011, Tentang Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2012 Tentang Indikator Ramah Lingkungan Untuk Usaha dan/ atau Kegiatan Penambanganterbukabatubara
Peraturan Menteri ESDM No 43 Tahun 2015 Tentang Evaluasi dan Tata Cara Pencabutan Izin yang tidak  Clean and Clear ( Non CnC).
Keputusan Menteri ESDM nomor 55/K/26/MPE/1995 Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum
Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2015 tentang Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang Daerah
Peraturan Walikota Samarinda Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pengaturan Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Non subsidi bagi Kegiatan di Bidang Pertambangan Batubara dan Jenis Kendaraan Pribadi
Data Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda, 2013
Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, 2014
Data Jatam Kaltim, 2014
Sensus Penduduk 2013, BPS Kota Samarinda
http://www.korankaltim.com/gsm-bagikan-1-000-kartu-pos-korban-tambang/
Indonesia – Invesment (http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/item236)
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Samarinda
http://www.bappeda.samarinda.go.id/profil.php
http://www.kliksamarinda.com/berita-2823-koalisi-anti-mafia-tambang-kaltim-waktumu-sudah-habis-gubernur.html
http://kaltim.tribunnews.com/2015/02/17/gawat-kaltim-hanya-punya-17-inspektur-tambang-untuk-awasi-1440-iup
http://kaltim.prokal.co/read/news/37333-cek-rp-2-miliar-dari-perusahaan-tambang
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://bappeda.samarindakota.go.id/berita/baca/334
http://regional.kompas.com/read/2013/04/11/02243957/Pertambangan.Rumah.Korupsi
http://www.kliksamarinda.com/berita-3859-jatam-kaltim-komisi-pengawas-reklamasi-pasca-tambang-bekerja-atau-bubar.html




[1] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011, Tentang Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
[2] Indonesia – Invesment (http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/item236)
[3] Dokumen MP3EI 2011-2025, halaman 100
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Samarinda
[5] Dikutip dari Sukandarrumidi oleh H. Salim HS., SH., M.S., 2005 Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta, Rajawali Pers), Halaman 191

[6] Dikutip dari Sukandarrumidi oleh H. Salim HS., SH., M.S., 2005. Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, Hal 194
[7] H. Salim HS., SH., M.S., 2005. Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, Hal 194
[8] Ibid, Hal 195
[9] Ibid, Hal 196-197
[10] Salim. H.S, 2004. Hukum Pertambangan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal 8.
[11] Ibid, Hal 8
[12] Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.Yang dimaksud dampak besar dan penting selanjutnya disebut dampak penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. (Salinan PerMen Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
[13] Op.Cit, Halaman 101
[14] Data Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda
[15] http://www.bappeda.samarinda.go.id/profil.php
[16] Data Jatam Kaltim
[17] Peraturan Pemerintah Republik indonesia No 75 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan
[18]http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://bappeda.samarindakota.go.id/berita/baca/334
[19] http://regional.kompas.com/read/2013/04/11/02243957/Pertambangan.Rumah.Korupsi
[20] Data Jatam Kaltim
[21] Hasil sensus  jumlah penduduk Samarinda 2013. Lihat; http://samarindakota.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/2
[22] Data Jatam Kaltim
[23] http://www.kliksamarinda.com/berita-2823-koalisi-anti-mafia-tambang-kaltim-waktumu-sudah-habis-gubernur.html
[24] Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi
[25] Maksud dan tujuan penyelenggaraan fungsi PTSP adalah sebagai upaya terwujudnya pelayanan perizinan dan non perizinan yang mudah, cepat, tepat, akurat, transparan, dan akuntabel, untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi BKPM dalam rangka mewujudkan iklim penanaman modal yang berdaya saing untuk menunjang kualitas perekonomian nasional. Pada intinya, hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi di Indonesia. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/badan-pom/15/11/10/nxk6go219-pelayanan-terpadu-satu-pintu-di-bkpm)

[26] http://kaltim.prokal.co/read/news/37333-cek-rp-2-miliar-dari-perusahaan-tambang
[27] http://kaltim.tribunnews.com/2015/02/17/gawat-kaltim-hanya-punya-17-inspektur-tambang-untuk-awasi-1440-iup (terdapat perbedaan data antara Distamben provinsi dengan Kementrian ESDM. Distamben mencatatat 1.992 IUP, sementara ESDM mencatat 1.440 IUP)
[28] http://www.kliksamarinda.com/berita-3859-jatam-kaltim-komisi-pengawas-reklamasi-pasca-tambang-bekerja-atau-bubar.html