Pada
tanggal 21 desember 2012 yang lalu kampus Universitas Hasanuddin kedatangan
sebuah acara dari salah satu stasiun televisi swasta di indonesia yaitu acara
Mata Najwa On Kampus yang diadakan di Baruga Andi Pangeran Pettarani, Kampus
Unhas, Makassar. Acara ini disambut sangat antusias oleh insan akademik di “kampus
Merah” tersebut, sekitar 3 ribu tiket ludes terjual.
Tetapi
bukan jalannya acara itu yang akan saya ceritakan tetapi berhubungan dengan
tema kegiatan yang diangkat dalam kegiatan tersebut yaitu “pemimpin bernyali”
yang pada saat itu mendatangkan narasumber – narasumber yang dianggap bernyali
dan selama ini sering mengadakan gebrakan yang sensasional yaitu: Jusuf Kalla
(mantan wapres), Mahfud MD (ketua MK), Dahlan Iskan (Mentri BUMN), dan Abraham
Samad (ketua KPK). Dari keempat nama yang disebutkan tadi, tiga nama awal yaitu
Jusuf Kalla, Mahfud MD dan Dahlan Iskan adalah tiga nama yang diunggulkan dan
merupakan 3 nama teratas untuk menjadi presiden versi LSI dan beberapa Lembaga survey
lain.
Pada
saat sesi pertanyaan saya ingin menanyakan sebuah pertanyaan apakah ketiga
pemimpin diatas jika menjadi presiden berani untuk menasionalisasi perusahaan
asing yang ada diindonesia, yang mengeruk, merampok sumber kekayaan alam di Negara
kita indonesia Karena menurut saya pemimpin bernyali adalah pemimpin yang
berani mengakuisisi perusahaan asing di Negara kita, agar kekayaan alam kita
bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran Negara kita bukan negara lain, karena selama
ini Negara kita, khususnya pemimpin kita sangat takut mengnasionalisasi perusahaan
asing karena terlalu takut mengambil resiko di jauhi atau dikucilkan oleh Negara-
Negara lain. Berikut adalah Negara-negara dengan pemimpin pemberani yang telah
mengambil kembali perusahaan asing di Negara mereka menjadi milik Negara mereka
sendiri.
Inilah daftar negara yang menasionalisasi perusahaan minyak
asing
Iran menasionalisasi perusahaan minyaknya lewat tekanan ulama dan
rakyatnya. Arab Saudi menasionalisasi
perusahaan minyak AS Aramco di tahun 1974 lewat Raja Faisal. Raja Faisal
berhasil mengubah negara Arab Saudi yang di tahun 1970-an miskin, menjadi
negara yang sangat makmur sekarang ini. Karena sejak dinasionalisasi,
pendapatan minyak meningkat drastis sehingga bisa mendanai pembangunan secara
masif.
Presiden Bolivia, Evo Morales berani menasionalisasi industri minyak dan
gas. Ini merupakan contoh ekstrem dari wujud nasionalisme pimpinan tertinggi di
negara itu.
Hugo Chavez berhasil
menasionalisasi perusahaan migas di Venezuela.
Meski Exxon menuntut venezuela US$ 12 Milyar atas asetnya, namun Lembaga
Arbitrase Internasional memutuskan hanya US$ 907 juta yang harus dibayar
venezuela. Dengan produksi minyak Venezuela sekitar 3 juta bph, dengan harga
minyak US$ 100/brl, maka aset Exxon yang harus diganti venezuela itu sudah bisa
dibayar lunas dengan produksi minyak 10 hari saja.
Kuba dengan pemimpinnya fidel castro berani mengusir perusahaan
asing milik amerika keluar dari kuba, sehingga amerika memutus hubungan diplomatic
dengan kuba dan meng embargo ekonomi kuba
langkah yang paling anyar ditempuh
oleh Negara Argentina. Negara ini
pada April 2012 membuat berita besar karena Presiden Argentina Cristina
Fernández de Kirchner mengatakan perusahaan minyak besar, Yacimientos
PetrolĂferos Fiscales (YPF), milik Repsol dari Spanyol akan diambil alih oleh
negara. Hal ini dilakukan untuk mengamankan hasil migas negara itu agar dapat
berkontribusi lebih banyak bagi kepentingan nasional.
Ada pun Norwegia, meski merupakan negara
Liberal, tetap mengelola migas mereka melalui BUMN mereka sehingga 100% hasil
migas dinikmati rakyat mereka. Bukan oleh segelintir pengusaha asing/swasta.
Tak heran meski baru menemukan minyak di tahun 1970-an, mereka jauh lebih
makmur ketimbang Indonesia yang sudah 100 tahun minyaknya dikeruk. Ini karena
Norwegia mengeruk minyaknya sendiri. Sedang Indonesia, yang mengeruk 90% migas
kita adalah perusahaan2 asing seperti Chevron, Exxon Mobil, Conoco, dsb.
Dalam ayat 3 Bab XIV Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, jelas
dinyatakan bahwa segala hal seperti, air, tanah, hasil Bumi Indonesia dikuasai
oleh Negara untuk Kesejahteraan Masyarakat.
Dari
situ kita tahu bahwa seharusnya kekayaan alam Indonesia seperti minyak, gas,
emas, perak, tembaga, batubara, dsb dikelola oleh negara melalui BUMN sehingga
bisa dinikmati oleh rakyat banyak. Bukan justru dinikmati oleh perusahaan2 asing
dan segelintir kompradornya.
Tentu
saja Nasionalisasi akan membawa resiko. Raja Faisal setelah menasionalisasi
perusahaan AS Aramco di tahun 1974, tahun 1975 ditembak mati oleh keponakannya
sendiri. Sementara Hugo Chavez dan Evo Morales jadi musuh Amerika Serikat.
Berulangkali Hugo Chavez mengalami percobaan pembunuhan. Ada pun Iran,
mengalami berbagai embargo dari pembekuan aset, embargo minyak, bahkan ancaman
perang terbuka oleh AS dan sekutunya. Ayatullah Kashani yang memimpin
rakyat untuk menasionalisasi perusahaan minyak asing diasingkan ke Lebanon. Iraq
bahkan diserang dan dibunuh presidennya (Saddam Hussein). Jadi Nasionalisasi
penuh resiko yang berat. Namun pejuang kita dulu punya semboyan “Merdeka atau Mati!”. Dari pada hidup hina terjajah, lebih
baik merdeka atau mati.
indonesia membutuhkan
pemimpin pemberani seperti mereka, jangan takut karena Negara kita kaya akan
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas agar Negara kita bisa
lebih sejahtera dan tidak ada lagi konflik-konflik akibat ketidakpuasan suatu
daerah terhadap pengelolaan sumber daya alam yang tidak dirasakan oleh daerah
dan masyarakat di daerah itu. kita butuh pemimpin yang rela berkorban bukan pemimpin yang mengorbankan rakyat dan bangsanya sendiri
isinya berupa kumpulan tugas semasa kuliah,,,lumayan buat d copas, hahha
BalasHapus