blog ini berisi hasil bacaan, hasil browsing, hasil diskusi, tulisan-tulisan baik jurnal ataupun tulisan lepas lainnya semoga blog ini bisa menjadi referensi buat tmn2 yg membutuhkan pengetahuan.... karena jgn pernah membatasi diri untuk mencari ilmu... karena sebuah kebodohan jika ilmu di batasi...

Jumat, 28 Maret 2014

Realitas PNS Saat Ini (Antara Kepentingan Penguasa dan Etika Profesi)



KEGALAUAN PNS DI PESTA DEMOKRASI
Menjelang pesta demokrasi (Pemilu legislatif dan Pemilihan presiden 2014) yang tinggal menghitung hari, fenomena survei di negeri ini semakin “menjamur” di Republik ini. Dengan data empiris yang terbatas dan metode survei yang masih bisa dipertanyakan, orang atau lembaga tertentu dengan mudahnya mengeluarkan pernyataan yang cenderung menggeneralisasi persoalan. Survei mengenai netralitas PNS pun sering kali melahirkan kesimpulan bahwa masyarakat masih ragu apakah PNS bisa bersikap netral tapi apakah itu sudah merupakan data yang valid dan dapat dipercaya karena masalah itu tadi, banyak lembaga survei yang mengeneralisasi persoalan, dan banyak juga diantara responden mereka yang belum atau tidak mengerti dengan persoalan itu.
Terlepas dari valid tidaknya data itu, paling tidak hal ini menunjukkan adanya keraguan dari masyarakat terhadap netralitas PNS di pemilu, padahal sejak era reformasi bergulir sudah banyak produk hukum yang mengatur netralitas PNS dan mejaga agar PNS tetap professional. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30/V.31-3/99 tanggal 12 Maret 2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS merupakan contoh produk hukum yang menuntut reformasi dalam tubuh birokrasi kita untuk bersikap netral dalam politik.
Keraguan masyarakat terhadap netralitas PNS antara lain disebabkan sistem pemerintahan kita yangb berjalan agak “rumit”, apalagi jika dilihat dari struktur pemerintah Negara ini yang menempatkan PNS sebagai pelaksana birokrasi di Indonesia. Persoalan menjadi amat rumit dan krusial ketika posisi pemimpin dijabat oleh tokoh yang berasal dari parpol dalam hal seperti ini posisi PNS sangat rentan digoyang oleh tangan-tangan kekuasaan yang menyimpan kepentingan-kepentingan tertentu.
Masalah netralitas PNS bisa terjadi dimana saja baik di daerah maupun di instansi pusat yang pemimpinnya merupakan orang parpol. Masalah pemberian jabatan struktural tertentu merupakan salah satu hal yang menyebabkan terjadi benturan antara netralitas PNS dengan kepentingan-kepentingan didalamnya. Persoalan dinamika promosi, demosi dan mutasi yang terjadi membuat PNS berada dalam posisi yang dilematis. Sebagai contoh ada seorang bupati di daerah X yang secara kebetulan anak dan istrinya menjadi calon anggota DPRD kabupaten dan provinsi, disini timbul isu di masyarakat bahwa ada upaya penggalangan massa PNS oleh sang bupati untuk memilih istri dan anaknya itu, bahkan PNS diancam akan dimutasi ataupun di berikan demosi jika tidak memilih anak dan istri dari si bupati tadi. Mungkin hal ini sudah menjadi rahasia umum di masyarakat bagaimana seorang pemimpin yang berasal dari parpol menggunakan kekuasaan mereka untuk menggerakkan para PNS untuk mengikuti kepentingan mereka. Para PNS akhirnya merasa “ketakutan” akan di demosi atau mutasi dan ada juga PNS yang menjadi seorang “penjilat” yang selalu ingin mendapat promosi jabatan sehingga meraka rela melakukan segala hal termasuk menjual profesionalitas mereka sebagai seorang birokrat yang mempunyai tugas utama melayani masyarakat
Kita perlu mengkritisi pandangan orang awam yang kurang pas terhadap posisi netral PNS yang cenderung ditafsirkan sebagai komunitas yang harus steril dan teralineasi dari kehidupan politik . padahal realitas politik PNS mempunyai hak pilih dalam pemilu. Karena itu posisi netral PNS sebenarnya adalah upaya mengambil jarak yang sama terhadap semua parpol yang ada di masyarakat. Sebagai pelayan masyarakat, mereka harus dihindarkan dari upaya pengotak-ngotakan dalam politik praktis. Semua ini ditujukan agar dalam mengemban tugas sehari-hari tidak lagi ada benturan antara kepentingan penguasa dan netralitas PNS di daerah.Birokrasi pemerintah dibentuk untuk mengemban tiga fungsi utama yaitu pelayanan publik, pelaksanaan pembangunan dan perlindungan masyarakat. Sebagi unsur aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat seorang PNS yang duduk dalam birokrasi pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus menjalankan tugasnya itu secara netral dan tidak diskriminatif.
Kondisi seperti itu hanya dapat terwujud jika dipundak mereka tidak terbebani tugas-tugas lain selain melayani kepentingan publik. Jika hal itu dapat terpenuhi maka netralitas PNS serta cita-cita membentuk pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai dengan keterbukaan, akuntabilitas dan supremasi hukum dapat bukan hanya slogan yang menggantung di langit. Seyogyanya butuh sebuah tindakan nyata agar PNS itu bisa bersikap netral dari segala macam kepentingan dari para penguasa terutama dari sisi jabatan dalam birokrasi, disini ada solusi yang kami anggap cukup bagus walaupun harus melalui beberapa pertimbangan dan analisa dampak yang mendalam yaitu untuk Pemerintah Daerah Pertama, sebaiknya masalah pergeseran posisi dalam birokrasi baik itu promosi, mutasi dan demosi menjadi hak sepenuhnya Sekretaris Daerah kabupaten\provinsi (SekDa/prov) dengan anggapan bahwa jabatan tertinggi dari PNS di daerah yaitu SekDa, selain itu dengan menggunakan logika sederhana bahwa sudah seharusnya PNS harus diatur oleh PNS juga tetapi SekDa yang terpilih itu merupakan pilihan murni kementrian dalam negeri tanpa melalui usulan Bupati atau Gubernur di daerah agar tidak terjadi lagi bahwa SekDa juga akhirnya yang memainkan kembali peran kepala daerah itu sehingga proses pemerintahan itu msh di intimidasi kepentingan politik penguasa. Cara Kedua, melalui lelang jabatan yang menggunakan kriteria yang jelas dengan persyaratan yang jelas sehingga terjadi transparansi di dalam penentuan jabatan mulai dari esselon IV sampai esselon 1. Sedangkan untuk Instansi Pusat sebaiknya pejabat di pucuk pimpinan di kementrian dan Lembaga diambil bukan dari kalangan politik tetapi dari kalangan professional, akademisi atau PNS yang dirasa sudah mampu memegang pucuk pimpinan itu dan sudah menjalani jenjang karir di pemerintahan dengan kata lain sebaiknya kementrian dan lembaga Negara tidak di isi oleh pejabat poltik tetapi diisi oleh pejabat karir misalnya PNS atau akedemisi karena kementrian dan lembaga Negara merupakan struktur birokrasi yang harus lepas dari kepentingan politik dan profesional melayani dan mengabdi pada Negara.
Artikel ini dibuat oleh:
1.       Satria Eka Tri Laksana, S.IP
(Peneliti Bidang Administrasi Negara, LAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar