KEGALAUAN PNS DI PESTA DEMOKRASI
Menjelang pesta demokrasi
(Pemilu legislatif dan Pemilihan presiden 2014) yang tinggal menghitung hari,
fenomena survei di negeri ini semakin “menjamur” di Republik ini. Dengan data
empiris yang terbatas dan metode survei yang masih bisa dipertanyakan, orang
atau lembaga tertentu dengan mudahnya mengeluarkan pernyataan yang cenderung menggeneralisasi
persoalan. Survei mengenai netralitas PNS pun sering kali melahirkan kesimpulan
bahwa masyarakat masih ragu apakah PNS bisa bersikap netral tapi apakah itu
sudah merupakan data yang valid dan dapat dipercaya karena masalah itu tadi,
banyak lembaga survei yang mengeneralisasi persoalan, dan banyak juga diantara
responden mereka yang belum atau tidak mengerti dengan persoalan itu.
Terlepas dari valid tidaknya data itu, paling tidak hal ini menunjukkan
adanya keraguan dari masyarakat terhadap netralitas PNS di pemilu, padahal
sejak era reformasi bergulir sudah banyak produk hukum yang mengatur netralitas
PNS dan mejaga agar PNS tetap professional. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor:
K.26-30/V.31-3/99 tanggal 12 Maret 2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan
Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden dan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS merupakan contoh produk
hukum yang menuntut reformasi dalam tubuh birokrasi kita untuk bersikap netral
dalam politik.
Keraguan masyarakat terhadap netralitas PNS antara lain disebabkan sistem
pemerintahan kita yangb berjalan agak “rumit”, apalagi jika dilihat dari
struktur pemerintah Negara ini yang menempatkan PNS sebagai pelaksana birokrasi
di Indonesia. Persoalan menjadi amat rumit dan krusial ketika posisi pemimpin
dijabat oleh tokoh yang berasal dari parpol dalam hal seperti ini posisi PNS
sangat rentan digoyang oleh tangan-tangan kekuasaan yang menyimpan
kepentingan-kepentingan tertentu.
Masalah netralitas PNS bisa terjadi dimana saja baik di daerah maupun di
instansi pusat yang pemimpinnya merupakan orang parpol. Masalah pemberian
jabatan struktural tertentu merupakan salah satu hal yang menyebabkan terjadi
benturan antara netralitas PNS dengan kepentingan-kepentingan didalamnya.
Persoalan dinamika promosi, demosi dan mutasi yang terjadi membuat PNS berada
dalam posisi yang dilematis. Sebagai contoh ada seorang bupati di daerah X yang
secara kebetulan anak dan istrinya menjadi calon anggota DPRD kabupaten dan
provinsi, disini timbul isu di masyarakat bahwa ada upaya penggalangan massa
PNS oleh sang bupati untuk memilih istri dan anaknya itu, bahkan PNS diancam
akan dimutasi ataupun di berikan demosi jika tidak memilih anak dan istri dari
si bupati tadi. Mungkin hal ini sudah menjadi rahasia umum di masyarakat
bagaimana seorang pemimpin yang berasal dari parpol menggunakan kekuasaan
mereka untuk menggerakkan para PNS untuk mengikuti kepentingan mereka. Para PNS
akhirnya merasa “ketakutan” akan di demosi atau mutasi dan ada juga PNS yang
menjadi seorang “penjilat” yang selalu ingin mendapat promosi jabatan sehingga
meraka rela melakukan segala hal termasuk menjual profesionalitas mereka
sebagai seorang birokrat yang mempunyai tugas utama melayani masyarakat
Kita perlu mengkritisi pandangan orang awam yang kurang pas terhadap posisi
netral PNS yang cenderung ditafsirkan sebagai komunitas yang harus steril dan
teralineasi dari kehidupan politik . padahal realitas politik PNS mempunyai hak
pilih dalam pemilu. Karena itu posisi netral PNS sebenarnya adalah upaya
mengambil jarak yang sama terhadap semua parpol yang ada di masyarakat. Sebagai
pelayan masyarakat, mereka harus dihindarkan dari upaya pengotak-ngotakan dalam
politik praktis. Semua ini ditujukan agar dalam mengemban tugas sehari-hari
tidak lagi ada benturan antara kepentingan penguasa dan netralitas PNS di
daerah.Birokrasi pemerintah dibentuk untuk mengemban tiga fungsi utama yaitu
pelayanan publik, pelaksanaan pembangunan dan perlindungan masyarakat. Sebagi
unsur aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat seorang PNS yang duduk
dalam birokrasi pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus menjalankan
tugasnya itu secara netral dan tidak diskriminatif.
Kondisi seperti itu hanya dapat terwujud jika dipundak mereka tidak
terbebani tugas-tugas lain selain melayani kepentingan publik. Jika hal itu
dapat terpenuhi maka netralitas PNS serta cita-cita membentuk pemerintahan yang
baik (good governance) yang ditandai dengan keterbukaan, akuntabilitas dan
supremasi hukum dapat bukan hanya slogan yang menggantung di langit. Seyogyanya
butuh sebuah tindakan nyata agar PNS itu bisa bersikap netral dari segala macam
kepentingan dari para penguasa terutama dari sisi jabatan dalam birokrasi,
disini ada solusi yang kami anggap cukup bagus walaupun harus melalui beberapa
pertimbangan dan analisa dampak yang mendalam yaitu untuk Pemerintah Daerah Pertama,
sebaiknya masalah pergeseran posisi dalam birokrasi baik itu promosi, mutasi
dan demosi menjadi hak sepenuhnya Sekretaris Daerah kabupaten\provinsi
(SekDa/prov) dengan anggapan bahwa jabatan tertinggi dari PNS di daerah yaitu
SekDa, selain itu dengan menggunakan logika sederhana bahwa sudah seharusnya
PNS harus diatur oleh PNS juga tetapi SekDa yang terpilih itu merupakan pilihan
murni kementrian dalam negeri tanpa melalui usulan Bupati atau Gubernur di
daerah agar tidak terjadi lagi bahwa SekDa juga akhirnya yang memainkan kembali
peran kepala daerah itu sehingga proses pemerintahan itu msh di intimidasi
kepentingan politik penguasa. Cara Kedua,
melalui lelang jabatan yang menggunakan kriteria yang jelas dengan persyaratan
yang jelas sehingga terjadi transparansi di dalam penentuan jabatan mulai dari
esselon IV sampai esselon 1. Sedangkan untuk Instansi Pusat sebaiknya pejabat di pucuk pimpinan di kementrian
dan Lembaga diambil bukan dari kalangan politik tetapi dari kalangan
professional, akademisi atau PNS yang dirasa sudah mampu memegang pucuk
pimpinan itu dan sudah menjalani jenjang karir di pemerintahan dengan kata lain
sebaiknya kementrian dan lembaga Negara tidak di isi oleh pejabat poltik tetapi
diisi oleh pejabat karir misalnya PNS atau akedemisi karena kementrian dan
lembaga Negara merupakan struktur birokrasi yang harus lepas dari kepentingan
politik dan profesional melayani dan mengabdi pada Negara.
Artikel ini
dibuat oleh:
1. Satria Eka Tri Laksana, S.IP
(Peneliti Bidang Administrasi
Negara, LAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar