Korupsi di Indonesia Dalam Tinjauan Budaya dan Tradisi
Dalam sistem politik
ada yang namanya budaya politik. Budaya politik itu yang akan membentuk kebiasaan-kebiasaan
pola perilaku masyarakat dalam berpolitik. Kebiasaan itu terbentuk bisa jadi
berasal dari budaya yang ada di masyarakat, sebagai contoh budaya masyarakat
Jawa. Dalam budaya Jawa saling tolong menolong merupakan hal yang di tanamkan
sejak kecil. Jika ada seseorang yang menolong tetangganya yang sedang
kesusahan, biasanya orang yang di tolong memberikan atau membawakan sesuatu
kepada si penolong sebagai ucapan terimakasih. Nah, kebiasaan yang seperti ini
kalau di bawa ke ranah politik sudah dianggap KKN. Contohnya banyak terjadi
kasus suap seperti Pemilihan Deputi Gubernur BI. Tanda terima kasihnya berupa
cek pelawat yang jumlahnya banyak.
Franz Magnis-Suseno mengemukakan hubungan antara korupsi dan
nilai-nilai kebudayaan. Korupsi dapat dicari penyebabnya dalam
nilai-nilai budaya tradisonal yang berkembang di masyarakat atau negara itu.
Selanjutnya dia memberikan dua nilai budaya yang menunjang terjadinya korupsi
yaitu personalistik dan rasa kekeluargaan, dan pengaruh feodalisme. Nilai
personalistik dan feodalisme tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat tertentu
maka konsekuensinya korupsi yang ada dalam masyarakat itu akan tertanam kuat
juga dan sulit untuk dihilangkan. Nilai kekeluargaan dan kekerabatan yang
menjadi nilai yang sungguh kental dalam masyarakat Indonesia. Rasa kekeluargaan
yang tinggi melahirkan perilaku korupsi di Indonesia seperti perilaku
Soeharto dan keluarganya. Meskipun pada akhirnya Magnis-Suseno juga membantah
pendapatnya sendiri bahwa pengembalian korupsi pada nilai-nilai
budaya korupsi merupakan sebuah bentuk rasionalisasi. Sebab korupsi juga
terjadi di zaman modern ini(nilai-nilai modern telah berkembang). Namun Ia
menganggap nilai-nilai tradisional hanya menentukan bentuk dan pola dari
korupsi itu.
Sebenarnya, ketika berbicara budaya, maka penanggulangan
korupsi tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek, sebagai contoh hukum atau
moral saja, dimana keduanya selalu dijadikan kambing hitam. Lebih dari itu
harus dilihat dari berbagai aspek seperti politik (kekuasan), ekonomi dan
faktor lainnya.
Pandangan pertama
dari aspek kekuasan, menurut Amin Rahayu SS, (Analis
informasi llmiah pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – LIPI) dalam tulisannya menjelaskan bahwa Kebiasaan
(tradisi) korupsi telah ada mulai dari masa kerajaan terdahulu. Dirinya membagi
budaya korupsi tersebut ke dalam kurun waktu sebelum kemerdekaan, masa orde
lama, masa orde baru, sampai masa orde reformasi.
Pada kurun waktu sebelum kemerdekaan, budaya korupsi
terlihat masih dalam bentuk yang sangat primitif, sebagi contoh penyalahgunaan
wewenang dalam perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kehancurannya kerajaan
Sriwijaya, Majapahit dan Mataram. Ditambah dengan gaya hidup para bangsawan
yang korup tanpa memerdulikan kehidupan sosial, maka sebuah keniscayaan apabila
keadaan ini dimanfaatkan oleh penjajah dalam menghancurkan kejayaan mereka.
Seiring bergulirnya waktu, ternyata pemimpin negara ini
tidak pernah beranjak dewasa dalam menghadapi korupsi. Hal tersebut terbukti
dengan mental mereka yang masih korup dan mandulnya agenda pemerintah dalam
pemberantasan korupsi dari waktu ke waktu. Ambil contoh Orde Lama dengan
pembentukan Paran dan Operasi Budhi yang mandek di tengah jalan, juga pada masa
Orde Baru dengan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan Opstib (Operasi
Tertib), yang justru menjadi pelindung
pemerintah.
Sampai akhirnya pada masa Susilo Bambang Yudoyono (SBY),
dengan janji penuntasan korupsi secara maksimal ternyata memble di tengah
jalan. Bukti di depan mata, yaitu mengguritanya berbagai kasus besar yang tidak
terselesaikan dan dilema Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) yang tersandera
kepentingan. Parahnya, era reformasi dan demokrasi yang seharusnya mendukung
pemeberantasan korupsi, justru sebaliknya malah menjadi pemicu korupsi.
Kedua,
dari aspek ekonomi. Perlu disadari bahwa mayoritas masyarakat indonesia yang
agraris lebih memilih pekerjaan sebagai petani yang notabenenya garis menengah
ke bawah. Pada masa pembangunan, ada upaya dari mereka untuk memperbaiki tarap
kehidupan, khususnya dikalangan para pemimpin. Kondisi tersebut berkembang
pesat pada zaman orde baru dimana pembangunan dalam berbagai bidang digalakan.
Sayangnya, seiring dengan kepentingan global pada saat itu, faham kapitalisme
masuk ke Indonesia.
Berbagai kebijakan Orde baru yang lebih memihak kapitalisme
ternyata membawa dampak yang signifikan terhadap mental bangsa Indonesia, yaitu
masyarakat Indonesia yang meterialistis. Akibatnya, masyarakat saling berlomba
untuk mendapatkan kekuasaan demi mendapatkan kesempatan memperkaya diri
sendiri. Dalam pikiran para pemimpin yang terpenting adalah keuntungan yang
diperolah dari sebuah jabatan, maka tidak jarang kerja sama licik antara
perusahan dan pemerintah mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar.
Tidak berbeda dengan zaman Orde baru, sampai saat ini
pemerintah masih mendukung dan menerapkan sistem kapitalisme. Sebagai contoh
lahirnya undang-undang Migas dan Penanaman Modal yang ditinjau kembali oleh
Mahkamah Konstitusi (MK), karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan sistem kapitalis ini, pemerintah mempunyai kesempatan yang
luas untuk mengeruk keuntungan dari para pemodal yang berujung pada
penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga,
dari aspek moralitas. Semua orang pasti tidak membenarkan tindakan korupsi.
Akan tetapi, dalam kenyataannya masyarakat tetap terjangkiti penyakit tersebut.
Jika menggunaan pendekatan teori moral Immanuel Khan dengan Deontologinya (1724-1804), kita akan
medapatkan gambaran dasar atas sikap anomi masyarakat Indonesia pada saat ini,
yaitu gagasan moral yang diusung masyarakat tidak sesuai dengan kewajiban yang
harus dilakukan seseorang.
Terkait hal tersebut, figur para pemimpin menjadi sangat
urgen dalam melurusankan moral masyarakat. Sebaliknya, saat ini kita selalu disuguhkan
dengan berita fakta tentang bobroknya moral penguasa. Oleh karenanya, secara
tidak langsung masyarakat kehilangan panutan dalam melaksanakan gagasan-gagasan
moral yang diusungnya selama ini. Tidak mengherankan apabila mareka tidak
merasa bersalah ketika melakukan sesuatu yang melanggar moralitas atau norma
(korupsi), lebih dari itu mereka bahkan apatis dalam menyikapinya.
Lebih lanjut, melihat dasar moralitas masyarakat Indonesia
yang komunal dan sektoral, para pemimpin harus menyikapinya secara arif, yaitu
mengimbanginya dengan menumbuhkan rasa nasionalisme. Melihat sejarah perjuangan
kemerdekaan, tidak semua pihak (khsususnya para pemimpin) memahami arti
nasionalisme, sebaliknya mereka membela kepentingan suku dan daerah
masing-masing. Kaitannya dengan korupsi, konteks Nasionalisme diharap dapat
membendung mentalitas mementingkan kepentingan kelompok yang menjadi salah satu
potensi lahirnya budaya korupsi di Indonesia.
Keempat,
dari aspek pendidikan, pemerintah dianggap belum bertindak maksimal dalam
mendukung pemberantasan korupsi lewat jalur pendidikan, karena sampai saat ini
belum ada bukti konkrit dari tindakannya. Sebaliknya, akhir-akhir ini kita
selalu disuguhkan dengan permasalahan pendidikan yang terkait dengan korupsi.
Sebagaimana menjamurnya kasus-kasus korupsi dalam instansi pendidikan, masih
maraknya para pengajar dan siswa yang berlaku curang (tidak jujur) dalam proses
pendidikan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah, khususnya Menteri
Pendidikan untuk mencari solusi yang solutif.
Kelima,
dari aspek hukum, dimana aspek ini menjadi perasalahan yang harus disikapi
serius oleh pemerintah. Bagaikan pedang bermata dua, seharusnya pemerintah
tidak pandang bulu dalam mengayunkannya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa
pemerintah selalu melindungi orang yang dianggap secara politik dapat berdampak
terhadap kelanggengan kekuasaan.
Melihat realita kekinian, pemerintah masih bersifat represif
dengan menjadikan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan, sekaligus
menjadikannya otonom jika terkait dengan kepentingan orang banyak (publik).
Seharusnya, pemerintah telah meningalkan cara primtif dan kuno tersebut, sudah
saatnya pemerintah menerapkan sistem hukum yang responsif dan progresif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar