blog ini berisi hasil bacaan, hasil browsing, hasil diskusi, tulisan-tulisan baik jurnal ataupun tulisan lepas lainnya semoga blog ini bisa menjadi referensi buat tmn2 yg membutuhkan pengetahuan.... karena jgn pernah membatasi diri untuk mencari ilmu... karena sebuah kebodohan jika ilmu di batasi...

Rabu, 16 Mei 2012

apakah di negara kita korupsi sudah dianggap sebuah budaya???

saya sangat prihatin melihat kondisi negara ini yang sangat kental dengan gaya hidup pejabatnya yang sangat erat dengan budaya korupsi, terlebih lagi melihat korupsi di indonesia yang sangat sulit untuk diatasi dan seakan-akan menjadi gaya hidup dan terkesan menjadi sebuah budaya dan tradisi, apakah memang korupsi di negara kita telah menjadi budaya??? tulisan ini hanya sebuah tinjauan singkat mengenai masalah korupsi di negara indonesia
 
Korupsi di Indonesia Dalam Tinjauan Budaya dan Tradisi

Dalam sistem politik ada yang namanya budaya politik. Budaya politik itu yang akan membentuk kebiasaan-kebiasaan pola perilaku masyarakat dalam berpolitik. Kebiasaan itu terbentuk bisa jadi berasal dari budaya yang ada di masyarakat, sebagai contoh budaya masyarakat Jawa. Dalam budaya Jawa saling tolong menolong merupakan hal yang di tanamkan sejak kecil. Jika ada seseorang yang menolong tetangganya yang sedang kesusahan, biasanya orang yang di tolong memberikan atau membawakan sesuatu kepada si penolong sebagai ucapan terimakasih. Nah, kebiasaan yang seperti ini kalau di bawa ke ranah politik sudah dianggap KKN. Contohnya banyak terjadi kasus suap seperti Pemilihan Deputi Gubernur BI. Tanda terima kasihnya berupa cek pelawat yang jumlahnya banyak. 
Franz Magnis-Suseno mengemukakan hubungan antara korupsi dan nilai-nilai kebudayaan. Korupsi  dapat dicari penyebabnya dalam nilai-nilai budaya tradisonal yang berkembang di masyarakat atau negara itu. Selanjutnya dia memberikan dua nilai budaya yang menunjang terjadinya korupsi yaitu personalistik dan rasa kekeluargaan, dan pengaruh feodalisme. Nilai personalistik dan feodalisme tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat tertentu maka konsekuensinya korupsi yang ada dalam masyarakat itu akan tertanam kuat juga dan sulit untuk dihilangkan. Nilai kekeluargaan dan kekerabatan yang menjadi nilai yang sungguh kental dalam masyarakat Indonesia. Rasa kekeluargaan yang tinggi melahirkan perilaku korupsi  di Indonesia seperti perilaku Soeharto dan keluarganya. Meskipun pada akhirnya Magnis-Suseno juga membantah pendapatnya  sendiri bahwa  pengembalian korupsi pada nilai-nilai budaya korupsi merupakan sebuah bentuk rasionalisasi. Sebab korupsi juga terjadi di zaman modern ini(nilai-nilai modern telah berkembang). Namun Ia menganggap nilai-nilai tradisional hanya menentukan bentuk dan pola dari korupsi itu. 
Sebenarnya, ketika berbicara budaya, maka penanggulangan korupsi tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek, sebagai contoh hukum atau moral saja, dimana keduanya selalu dijadikan kambing hitam. Lebih dari itu harus dilihat dari berbagai aspek seperti politik (kekuasan), ekonomi dan faktor lainnya.
Pandangan pertama dari aspek kekuasan, menurut Amin Rahayu SS, (Analis informasi llmiah pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – LIPI) dalam tulisannya menjelaskan bahwa Kebiasaan (tradisi) korupsi telah ada mulai dari masa kerajaan terdahulu. Dirinya membagi budaya korupsi tersebut ke dalam kurun waktu sebelum kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, sampai masa orde reformasi.
Pada kurun waktu sebelum kemerdekaan, budaya korupsi terlihat masih dalam bentuk yang sangat primitif, sebagi contoh penyalahgunaan wewenang dalam perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kehancurannya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram. Ditambah dengan gaya hidup para bangsawan yang korup tanpa memerdulikan kehidupan sosial, maka sebuah keniscayaan apabila keadaan ini dimanfaatkan oleh penjajah dalam menghancurkan kejayaan mereka.
Seiring bergulirnya waktu, ternyata pemimpin negara ini tidak pernah beranjak dewasa dalam menghadapi korupsi. Hal tersebut terbukti dengan mental mereka yang masih korup dan mandulnya agenda pemerintah dalam pemberantasan korupsi dari waktu ke waktu. Ambil contoh Orde Lama dengan pembentukan Paran dan Operasi Budhi yang mandek di tengah jalan, juga pada masa Orde Baru dengan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan Opstib (Operasi Tertib), yang justru menjadi pelindung pemerintah.
Sampai akhirnya pada masa Susilo Bambang Yudoyono (SBY), dengan janji penuntasan korupsi secara maksimal ternyata memble di tengah jalan. Bukti di depan mata, yaitu mengguritanya berbagai kasus besar yang tidak terselesaikan dan dilema Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) yang tersandera kepentingan. Parahnya, era reformasi dan demokrasi yang seharusnya mendukung pemeberantasan korupsi, justru sebaliknya malah menjadi pemicu korupsi.
Kedua, dari aspek ekonomi. Perlu disadari bahwa mayoritas masyarakat indonesia yang agraris lebih memilih pekerjaan sebagai petani yang notabenenya garis menengah ke bawah. Pada masa pembangunan, ada upaya dari mereka untuk memperbaiki tarap kehidupan, khususnya dikalangan para pemimpin. Kondisi tersebut berkembang pesat pada zaman orde baru dimana pembangunan dalam berbagai bidang digalakan. Sayangnya, seiring dengan kepentingan global pada saat itu, faham kapitalisme masuk ke Indonesia.
Berbagai kebijakan Orde baru yang lebih memihak kapitalisme ternyata membawa dampak yang signifikan terhadap mental bangsa Indonesia, yaitu masyarakat Indonesia yang meterialistis. Akibatnya, masyarakat saling berlomba untuk mendapatkan kekuasaan demi mendapatkan kesempatan memperkaya diri sendiri. Dalam pikiran para pemimpin yang terpenting adalah keuntungan yang diperolah dari sebuah jabatan, maka tidak jarang kerja sama licik antara perusahan dan pemerintah mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar.
Tidak berbeda dengan zaman Orde baru, sampai saat ini pemerintah masih mendukung dan menerapkan sistem kapitalisme. Sebagai contoh lahirnya undang-undang Migas dan Penanaman Modal yang ditinjau kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK), karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Undang-Undang Dasar 1945. Dengan sistem kapitalis ini, pemerintah mempunyai kesempatan yang luas untuk mengeruk keuntungan dari para pemodal yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga, dari aspek moralitas. Semua orang pasti tidak membenarkan tindakan korupsi. Akan tetapi, dalam kenyataannya masyarakat tetap terjangkiti penyakit tersebut. Jika menggunaan pendekatan teori moral Immanuel Khan dengan Deontologinya (1724-1804), kita akan medapatkan gambaran dasar atas sikap anomi masyarakat Indonesia pada saat ini, yaitu gagasan moral yang diusung masyarakat tidak sesuai dengan kewajiban yang harus dilakukan seseorang.
Terkait hal tersebut, figur para pemimpin menjadi sangat urgen dalam melurusankan moral masyarakat. Sebaliknya, saat ini kita selalu disuguhkan dengan berita fakta tentang bobroknya moral penguasa. Oleh karenanya, secara tidak langsung masyarakat kehilangan panutan dalam melaksanakan gagasan-gagasan moral yang diusungnya selama ini. Tidak mengherankan apabila mareka tidak merasa bersalah ketika melakukan sesuatu yang melanggar moralitas atau norma (korupsi), lebih dari itu mereka bahkan apatis dalam menyikapinya.
Lebih lanjut, melihat dasar moralitas masyarakat Indonesia yang komunal dan sektoral, para pemimpin harus menyikapinya secara arif, yaitu mengimbanginya dengan menumbuhkan rasa nasionalisme. Melihat sejarah perjuangan kemerdekaan, tidak semua pihak (khsususnya para pemimpin) memahami arti nasionalisme, sebaliknya mereka membela kepentingan suku dan daerah masing-masing. Kaitannya dengan korupsi, konteks Nasionalisme diharap dapat membendung mentalitas mementingkan kepentingan kelompok yang menjadi salah satu potensi lahirnya budaya korupsi di Indonesia.
Keempat, dari aspek pendidikan, pemerintah dianggap belum bertindak maksimal dalam mendukung pemberantasan korupsi lewat jalur pendidikan, karena sampai saat ini belum ada bukti konkrit dari tindakannya. Sebaliknya, akhir-akhir ini kita selalu disuguhkan dengan permasalahan pendidikan yang terkait dengan korupsi. Sebagaimana menjamurnya kasus-kasus korupsi dalam instansi pendidikan, masih maraknya para pengajar dan siswa yang berlaku curang (tidak jujur) dalam proses pendidikan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah, khususnya Menteri Pendidikan untuk mencari solusi yang solutif.
Kelima, dari aspek hukum, dimana aspek ini menjadi perasalahan yang harus disikapi serius oleh pemerintah. Bagaikan pedang bermata dua, seharusnya pemerintah tidak pandang bulu dalam mengayunkannya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintah selalu melindungi orang yang dianggap secara politik dapat berdampak terhadap kelanggengan kekuasaan.
Melihat realita kekinian, pemerintah masih bersifat represif dengan menjadikan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan, sekaligus menjadikannya otonom jika terkait dengan kepentingan orang banyak (publik). Seharusnya, pemerintah telah meningalkan cara primtif dan kuno tersebut, sudah saatnya pemerintah menerapkan sistem hukum yang responsif dan progresif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar